"Spritualitas' adalah kumpulan artikel mengenai olah rohani, olah batin dari bagi mereka yang ingin memberi makan jiwa. Berbagai kumpulan artikel berkisar pada masalah hidup rohani, saya sajikan dalam blog ini. Selamat menyantapnya, semoga membuat jiwa anda menjadi gemuk. MoTe

Friday, September 12, 2008

SAKRAMENT REKONSILIASI [4 TAMAT]


Mungkin paling banyak orang datang karena mengalami kekecewaan, frustrasi. Mereka datang membawa rasa ketakutan, kesulitan-kesulitan semu, tetapi juga dengan kesulitan yang sungguh-sungguh. Mereka membawa sikap yang ganjil, luka-luka yang belum sembuh, orang-orang yang mengalami tragedi. Mereka semua itu perlu kita dengarkan dengan sabar, tanpa memperlihatkan rasa bosan. Perlu hati yang sabar untuk berusaha mengerti mereka, syukur bisa menawarkan pertolongan dan yang pasti adalah kita bisa mendoakan mereka. Datang orang -yang luka-lukanya sembuh dengan lewatnya banyak waktut tetapi bekas luka itu masih dirasa sakit, menyulitkan hidup. Akibat-akibat luka-luka itu - dengan suatu transformasi - masuk ke dalam hidup generasi baru sebagai warisan yang memberatkan, mungkin dalam bentuk kecurigaan terhadap setiap orang, kesulitan untuk mempercayai, untuk melihat kemauan baik.
Datang orang dengan suatu kemiringan psikis, tidak normal, mereka datang ke ruang pangakuan karena mereka berharap bahwa mungkin di tempat mereka akan dilihat dan diterima secara serius. Bahwa pastor akan memberi sedikit waktu, mendengar mereka dengan sabar, akan mengerti dunia kecurigaan, kegilaan, suara-suara khayalan mereka. Orang-orang dari lingkungan mereka asal melihat orang itu mendekat, langsung menutup pintu, malah mengusir dengan marah-marah. Orang seperti ini sungguh perlu untuk diterima, dan bersuha agar pastor tidak mengecewakan mereka. Agar mengikat kontak psikis, menenangkan, mengemukakan arti hidup. Bagi penitent situasi ini sangat berat untuk ditanggungnya, karena kelainan psikis itu mengisolir mereka dari dunia orang "normal". Biasanya lingkungan tidak mengerti mereka, mereka diremehkan, malah diejek, pada hal, mereka mempunyai juga rasa harga diri. Apakah pastor bisa menolong mereka? Rasanya bisa. Justru dengan mendengar, dengan berusaha mengerti, dengan berusaha mengarahkan pikiran nekat mereka ke arah lain, menunjukkan Kristus yang lebih kuat dari penyakit mereka, menjanjikan doa, memberi pengampunan membuat orang itu menemukan dirinya.
Datang pula orang dengan depresi berat, sudah tidak melihat tempat bagi dirinya di dunia ini. Putus asa, merasa sangat sedih dan ingin mati. Bisa jadi dikamar itu dia engatakan bahwa mau bunuh diri, malah sudah mencoba. Sekarang sudah ambil keputusan, tetapi sebelum melaksanakannya, namun masih datang mengaku dosa, untuk terahir kalinya. Bisakah imam menerangkan kepadanya kata-kata dari "Redemptor Hominis” bahwa setiap orang tercakup dalam misteri Penebusan, bahwa Kristus ingin bertemu dengan setiap manusia dalam misteri itu, ingin sekali untuk selamanya menyatukan Diri dengannya. Mampukah imam menunjukkan arti hidup dalam penderitaan, serta tujuan konkret orang-orang itu? Bisakah berbuat sesuatu dalam situasi seperti ini?
Psycoterapi? Memang, pengakuan dosa mempunyai juga suatu pengaruh psycoterapeutik, tetapi hanya melalui relasi dengan Kristus. Oleh iman dan Injil, oleh tabbisan imamat confessarius, sakramen Tobat mengabdi kepada mendamaikan manusia dengan Allah, melepaskan manusia dari beban dosa. Pun juga, para penitent datang mengaku dosa bukan karena si imam adalah ahli psykologi, tetapi karena iman, dan karena mereka mempercayai Kristus dan GerejaNya. Dan si confessarius memiliki nilai-nilai dan kekuasaan, yang tidak dimiliki oleh dokter atau psycolog yang terbaik sekalipun. Imam mempunyai kebijaksanaan Injil, kebijaksanaan dan pengalaman Gereja, serta kekuatan yang menyelamatkan imamat Kristus Dan Kristus sendiri yang berkarya di situ.
Untuk menjalankan tugas ini sebagai dokter dan guru, bapa pengakuan haruslah orang yang beriman dan berkeyakinan kuat. Orang hidup dan bertahan dalam rahmat, dalam hidup Ilahi, keinginan hatinya adalah untuk menyelamatkan banyak jiwa. Berkobar dalam semangat dan siap berkurban bagi jiwa-jiwa. Ia mempunyai semangat dalam penyangkalan diri dan hidup tekun dalam doa yang tak kunjung henti.
Oleh karena itu dari seorang bapa pengakuan umat mengharapkan:
a). Kebaikan dan kepekaan hati. Kebaikan hati membuat si penitent tenang.
Kebaikan hati meyakinkandam menawan. Sebaliknya, jika bapa pengakuan pemarah, kasar dan keras akan menimbulkan perasaan takut, tak tenang dan menimbulkan prasangka dan kecurigaan. Orang akan menutup hati sebelum membukanya. Membuat orang kecewa dan menghindari Sakramen Pengampunan, dari Gereja, dari Allah, bahkan bisa untuk selamanya.
b). Rasa hormat kepada penitent. Penitent datang mengakui karena disentuh rahmat. Walaupun ia berdosa ia tetap milik Allah. Tuhan sendiri membela hak-haknya. Tuhan berkarya di dalam hati orang itu, Imam hanya menyelesaikan karya Allah itu. Tetapi imam tidak boleh merusakkan atau menghentikan karya rahmat itu dengan sikap-sikapnya yang tidak baik.
c). Kesabaran. Menerima pengakuan dosa itu bukan tugas ringan. Tugas ini sungguh berat, membosankan dan melelahkan syaraf. Hasilnya tidak dapat dilihat atau diukur. Penitent sering cukup kasar, tidak tahu hal-hal paling pokok. Ada yang keras kepala, sinis, nakal. Janganlah hal ini membuat imam marah, berbicara keras dan kasar, sebab ini sungguh sangat merugikan. Perlu usaha untuk mengerti penitent, masuk ke dalam situasi dia dan dalam keadaan jiwanya. Perlu memperhatikan umur, jenis kelamin, pendidikan, lingkungannya, masa lalu, kebiasaannya dsb.
c). Baik hati tetapi menuntut dan tegas. "Fortiter et suaviter". Sikap kompromi dan minimalis sangat merugikan. Jahat harus disebut jahat. Dalam hal ini tidak boleh tawar-menawar, tidak boleh lunak dalam hal Perintah-Perintah Allah, kakrena kesempatan dekat terhadap dosa berat merupakan bahaya neraka.
Sakramen pengakuan memberi arti dan posisi khusus untuk memandang realitas hidup manusia. Tempat ini bisa memperlihatkan secara sangat realistis banyak hal, banyak ketergantungan, ikatan antara sebab dan akibat-akibat dalam hidup orang. Dengan meenerima dan mendengarkan pengakuan dosa imam melihat bukan hanya dosa dan kejahatan manusia, tetapi perang kejam di antara kejahatan dan Allah, perang Kristus, perang yang ahirnya akan dimenangkan oleh Kristus. Imam melihat pula bagaimana Allah mencari manusia, dan bagaimana manusia mencari Allah, mencari keadilan di hadapan Allah, haus dan lapar akan Allah cintakasihNya. Imam melihat ketidak-mampuan dunia untuk membahagiakan hati manusia, memenuhinya. Imam melihat bahwa Kristus sekarang sama seperti dulu mengusir roh-roh jahat, membuka mata orang-orang buta menyembuhkan orang-orang lumpuh, kusta, menguatkan yang lemah, mengangkat yang jatuh dengan cara tidak spektakuler, tersembunyi bagi mata manusia tetapi toh nyata. Sama seperti dulu, sekarang juga Kristus mencari kontak individual dengan manusia. Dan berkat pribadi seorang imam, pencarian itu mempunyai bentuk riil.
Selesai pengakuan imam merasa rileks tetapi biar betapapun payahnya, merasa berhutang budi kepada.Allah dan bersyukur, karena sudi melibatkannya dalam karya keselamatan yang begitu indah dan luhur.
Berkat Sakramen ini, manusia mengalami bukan Allah yang adil dan dahsyat, tetapi Allah yang penuh cintakasih yang mengampuni, Allah yang mengangkat manusia dari lembah dosa. Dan pengalaman itu sangat menolong mengenal lebih dalam kelemahan pribadi, kelemahan temperamen dan akibat-akibat kelemahan itu. Sehingga pengetahuan itu tidak menimbulkan frustrasi dan stress, sebab dalam penemuan kesalahan, penitent sekaligus menemukan pengalaman baru belaskasihan yang penuh kesabaran dan kepekaan Allah. Menolong menerima keterbatasan pribadi, tanpa mengalah pasif kepada keterbatasan itu.
Pembaharuan rohani akan terwujud jika semua Imam menghargai pemberian terbesar Belaskasihan Allah, dalam Sakramen Tobat yang mereka layani. Kalau semua imam secara jujur dan tanpa melebih-lebihkan, mempunyai pengayatan semangat ini “Saya tidak bisa menatap seseorang, tanpa keinginan besar untuk memberi kepadanya absolusi".
salam dan doa
MoTe

SAKRAMEN REKONSILIASI [3]

IMAM SEBAGAI CONFESSARIUS
Sebagai manusia berdosa dan lemah, imam membutuhkan Sakramen Pengampunan. Tetapi sekaligus imam adalah bendahara Sakramen itu, pelayanan pendamaian. Pernah, dalam suatu pertemuan para imam, salah satu dari mereka bertanya: "Sejauh mana semboyan "Sacerdos alter Christus" itu benar. Seorang imam yang lain mengatakan: "Seandainya saya tidak merasa diri sebagai "alter Kristus", saya tidak akan berani masuk ke tempat pengakuan dosa. Tempat itu 'menakutkan, tetapi toh saya masuk, sebab Kristus menuntut ini dari saya. Pun juga Gereja dan umat membutuhkannya. Dan saya tidak bisa menguasai rasa takut itu, seandainya saya tidak yakin, bahwa pelaku utama di situ bukan saya, tetapi Kristus. Kristus memperhatikan di situ para penitent dan menjaga juga saya. Karena itu saya sering mengingat kata- kata Kristus: "Siapa mendengar kamu ia mendengar Aku”
Adhortatio apostolica "Reconciliatio et poenitentia" menekankan cukup kuat peranan Imam sebagai "dokter jiwa" dalam pelayanan sakramen pengampunan. Terutama sesudah Konsili Trente imam dilihat sebagai hakim. Memandang imam dalam pelayanan Sakramen pengampunan sebagai hakim tidak keliru, tetapi ini bukan peranan satu-satunya dan harus dipahami juga dengan cara yang benar. Istilah itu dipakai dalam arti analogi dan peranan imam sebagai hakim tidak terletak dalam menghitung-hitung secara matematika jumlah dan beratnya dosa, serta derajat kesalahan orang. Hal itu diketahui dengan jelas hanya oleh Allah sendiri. Tetapi imam hanya melihat apakah penitent sungguh mau memutuskan hubungan dengan dosa dan masuk tobat, atau tidak.
Dengan kata lain, imam harus melihat apakah kata-kata pengampunan boleh diucapkan atau tidak. Sebab di mana soorang bordosa secar jujur dan di bawah pengaruh rahmat Tuban mau bertobat dan mengaku dosa, Gereja tidak bisa “menahan" dosanya itu.
Imam bisa menolak pengampunan, tetapi bukan karena beratnya atau banyaknya dosa. Bukan juga karena ia mau menghukum demikian si pendosa. Imam bukan "tuan" pengampunan tetapi "pelayan pengampunan". Dan Kristus mau mengampuni setiap orang yang menyesal. Singkatnya, tugas imam sebagai hakim terletak hanya dalam melihat apakah orang bertobat, membuka hati atas rahmat pengampun.
Peranan imam yang jauh lebih luas dalam sakramen Tobat adalah sebagai "dokter" jiwa. Hidup manusia selalu mengalami pasang naik dan surut. Panggilan dan tugas manusia adalah berjalan terus tanpa berbenti di jalan yang benar. Maju terus. Hidup dewasa ini mendesak agar maju jangan berhenti karena akan dikalahkan dalam saingan, konkurensi di semua bidang. Pada hal Jesus mengatakan: "Jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil, kamu tidak masuk ke dalam Kerajaan surga". Kata-kata ini membuat banyak orang tercengang dan tidak menganggapnya serius sebab - pikir mereka - jika kata itu dianggap serius dan dilakukan, akan mengakibatkan kemunduran manusia.
Bertobat, pulang kembali kepada Tuban tidak merupakan kemunduran. Sebaliknya mengaku “saya berdosa" berarti bahwa saya lebih menyadari kemerosotan eksistensiku. Saya mengakui bahwa saya telah melakukan langkah yang fatal. Dosa adalah pelarian dari kemajuan, kebaikan dan perkembangan. Dosa menyerang inti kemanusiaan, kepribadian kita, merusakkan realitas yang menentukan mengenai kemajuan, yaitu karakter autentik kita. Merusak identitas kita yakni arah yang benar hidup. Sebab kita diciptakan untuk melakukan apa yang dikehendaki pencipta, mengenal segala hal yang Dia kenal mencintai apa yang Dia cintai. Padahal inti dosa adalah melakukan yang ap Tuban tidak mau mencintai dan yang Tuhan tidak setuju. Maka dosa nampak sebagai ketidakadilan terhadap Allah, tetapi juga terhadap diri sendiri.
Dosa adalah pelarian diri dari hadapan Allah. Hal yang sangat serius dan ini merupakan tragedi adalah bahwa dosa masih terus berkembang membesar, hal ini terjadi karena biasanya orang menyangkal dosanya. Jika orang buta menyangkal bahwa dia buta, bagaimana mungkin ia bisa disembuhkan? Jika orang sakit tidak percaya bahwa ia sakit, tidak bisa disembuhkan juga. Tetapi pada saat sinar rahmat masuk ke dalam hati, dalam terang sinar itu orang mulai menyadari langkahnya yang keliru. Dan sejak itulah mulai kemajuan yang benar. Tobat merupakan sungguh kemajuan!
Peranan imam yang penting di sini adalah berntindak sebagai dokter. Efektivitas peranan itu tergantung dari keterlibatan pribadi imam sendiri. Di sini terutama imam menjadi alat dalam tangan Dokter Ilahi. Melalui dia, Kristus tidak hanya mengucapkan kata pengampunan tetapi melalui imam Kristus menegur, menasehati, mengajak, menghibur. Melalui imam mengalir “kuasa Allah yang menyembuhkan”.
Pertama-tama imam harus memungkinkan peniten mengalami kehadiran Kristus yang menyelamatkan bagi si penitent. Ini akan terlaksana, kalau imam - seperti Yohanes Pembaptis - menunjukkan Kristus yang berkarya dalam Sakramen, kalau ia dalam cara menyelenggarakan pelayanannya, meniru teladan Dia yang dia wakili.
Sakramen Tobat yang diterima dalam suasana iman, syukur dan pujian bagi Allah membuat, bahwa penitent dengan lebih gampang akan mengalami kehadiran dan dekatnya relasi Allah. Situasi ini akan mempengaruhinya untuk lebih membuka hati bagi rahmat pengampunan. "Betapa Allah baik, kalau hamba-hambanya begitu baik”
Dokter jiwa ini sekaligus juga saudara si penitent. Ia dipanggil untuk menanggung dengan sukarela dan sengaja penyangkalan diri dan matiraga, untuk memohon rahmat tobat lebih mendalam bagi mereka yang akan datang kepadanya untuk mengaku dosa. "Tobat yang ditanggung bagi orang lain yang diambil oleh imam, merupakan nilai yang sama, seperti perantaraan Gereja, sebab dalam Sakramen Tobat, imam adalah wakil resmi Gereja.
Masing-masing jiwa membutuhkan perhatian khusus. Tetapi hal yang terjadi karena penitent begitu banyak dan waktunya sempit kita mempunyai kecenderungan memperlakukan semua secara skematis, rutin, formalistis. Asal cepat. Akibatnya penitent tidak merasa terkesan, tidak terjadi perubahan sedikitpun dalam cara hidup, dalam sifatnya. Imam tidak menyentuh kebutuhan individual penitent, tidak diajak untuk menangani diri sendiri secara lebih serius. Dan kiranya ini menjadi salah satu penyebab bahwa hidup Kristiani begitu banyak orang tidak panas tidak dingin, itu-itu saja. Seorang pengarang Inggris menyindir tajam orang katolik seperti itu: "Agama katolik indah sekali, asal tidak ada orang-orang katolik".
Umat mengeluh ‘kami berjalan sendirian’. Bergulat dengan diri sendiri, dengan masalah-masalah batin dengan kesulitan-kesulitan hidup, eksistensi, ekonomi dsb. Di sekeliling kami orang menjadi dingin, orang makin acuh tak acuh, orang pada bersaingan diri secara tidak sehat, konkurensi, korupsi dan kolus. Maka jika dalam pengakuan dosa mereka bertemu seorang pastor yang memberi perhatian simpatik, memperlihatkan kebaikan hati, hati umat tersentuh, mau membuka diri. Pertama kali mungkin hanya sedikit, tetapi kedua kalinya merupakan muda untuk menjadi terbuka sepenuhnya. Dan saat itulah imam bisa melihat semua kemampuan tenaga, kekurangan, kelemahannya. Bisa melihat apa yang bisa dituntut dari jiwa itu bagaimana dapat mengarahkannya menolongnya. Dan waktu itulah bapa pengakuan menjadi bukan hakim, tetapi dokter jiwa, guru, sahabat.
Apakah itu mungkin? Begitu banyak kesibukan, tak ada waktu. Jika pengakuan dosa diadakan hanya sebelum Natal dan paska, secara massal, memang kita tidak mempunyai waktu untuk memberi perhatian kepada masing-masing jiwa. Hal ini pantas dipikirkan secara serius, mengingat bahwa pengakuan dosa merupakan juga sarana pastoral, yang pengaruhnya sangat besar. Sayang kalau orang-orang non katolik menilai tinggi sekali peranan pengakuan dosa, tetapi kita sendiri meremehkannya. Sto Yohanes Vianney tidak mempunyai masalah dengan kekurangan waktu. Bagi dia satu-satunya hal yang penting adalah orang yang saat ini datang mengaku dosa. Semua hal lain baginya menjadi tidak penting. Dan karena itu ia bisa duduk di tempat pengakuan dosa sampai duapuluh jam sehari! Yohanes sadar, bahwa bagi seorang imam, sesudah Misa kudus, menerima pengakuan dosa adalah kewajiban nomer satu. Sayang, bahwa tempat pengakuan mengandung begitu banyak harta kekayaan ilahi kita belum kita gali dan temukan kekayaannya. Padahal kita taahu bahwa dari segi psikologis hati seorang akan lebih terbuka dalam pengakuan dosa untuk menerima sabda Allah, dari pada hati orang yang mendengar khotbah.
Berbagai macam orang yang datang ke tempat pengakuan. Bisa jadi mereka yang datang adalah orang yang mengaku secara rutin, dan mungkin juga dengan "dosa-dosaku selalu sama". Bisa juga datang orang telah sekian lama bergulat dengan dirinya sendirian, tidak ada teman yang menemaninya. Mereka berbicara tentang kekosongan hati, tentang beratnya hidup tanpa Tuhan.
Datang orang yang tenang yang memelihara "kerapihan batin” tetapi datang pula yang golisah, bingung, yang ingin mencurahkan segala kepahitan batin, ketidakadilan yang dialaminya. Dan imam harus mendengar mereka semua. Mungkin bisa berbuat sedikit menenangkan, mengarahkan pikiran mereka kepada hal-hal yang paling penting.
Datang orang dengan iman yang sungguh hidup tetapi datang juga orang yang mulai dari kata-kata: "Pastor, sebenarnya saya sudah tidak percaya,..” (Bersambung)
salam dan
MoTe

SAKRAMEN REKONSILIASI [2]


Oleh karena itu Gereja mengajak kita untuk sesering mungkin menerima Sakramen ini. Kita bukan hanya menerimanya jika kita jatuh ke dalam dosa berat. Gereja menganjurkanSakramen ini bagi jiwa-jiwa yang sudah sejak lama berpisah dengan dosa. Konsili Vat II, Hukum Gereja yang lama dan yang baru, serta aturan semua Konggregasi mengajak para anggotanya untuk sering mungkin dan secara serius menerima samber rahmat ini. (Lihat: Dekrit Tentane Pelayanan dan Kehidupan Para Imam Nr 13 dan Nr 8; Hukum Gereja Can 276 & 2, Nr 5)
Menurut ajaran Gereja, dosa berat dapat diampuni – dalam keadaan biasa - hanya dengan menerima Sakramen Pengampunan. Dosa-dosa yang disebut kecil dapat diampuni melalui jalan lain, tanpa Sakramen, yaitu dengan doa tobat penuh penyesalan, dengan suatu perbuatan amal, derma, Misa Kudus, Komuni, ziarah, matiraga dsb. Ini sarana-sarana yang sejak permulaan dimanfaatkan umat beriman untuk membersihkan hati dari dosa. Maka-tidak ada kewajiban menerima Sakramen Pengampunan untuk menghapus dosa terutama yang kita katergorikan sebagai dosa kecil. Tetapi toh Gereja menganjurkan agar kita menerima sering Sakramenitu. Mengapa? Apakah ada suatu perbedaan di antara pengampunan yang kita peroleh dengan cara extra sakramental dan pengampunan yang kita terima dalam Sakramen Pengampunan?
Kita harus menyadari bahwa Sakramen merupakan sesuatu yang melebibi segala usaha manusia, sehingga tak ada satu halpun yang dapat dibandingkan, apa lagi disamakan dengan efisiensi sakramen. Sebab di dalam Sakramen-sakramen Kristus sendiri berkarya, bukan manusia. Dalam bahasa tradisional ini disebut: "opus operatum". Walaupun kita perlu memahami bahwa Sakramen itu bukan automatis menghasilkan rahmat dalam diri orang itu, tetapi selalu membutuhkan kerja sama manusia dengan Allah. Efisiensi itu berasal bukan dari sifat manusia, tetapi dari kuasa Allah sendiri.
Kecuali itu sakramen Pengampunan mempunyai ciri khas dan tujuan yang khas, yaitu menyembuhkan jiwa yang berdosa dan lemah. Pertama-tama mempunyai kuasa mengampuni dosa (disebut: Sakramen kelahiran kembali - seperti Permandian). Tetapi juga mempunyai kekuatan yang menyembuhkan jiwa, menguatkannya, mencurahkan kekuatan baru. Kekuatan itu secara khusus dimaksudkan untuk menolong jiwa bertahan dalam kebaikan, menjauh dari dosa. Di sinilah letak perbedaan pokok antara pengampunan sakramental dan ekstra sakramental.
Maka kita bisa mengatakan bahwa pengampunan dosa itu sebagian saja dari hasil Sakramen ini. Kecuali pengampunan, sakramen ini memberi kekuatan khusus yang menyembuhkan jiwa yang membantu manusia tetap teguh dan memalingkan dari dosa secara radikal lagi. Penyembuhan jiwa ini juga mengarahkan kita kepada persatuan dengan Allah secara lebih sempurna lagi. Itulah rahmat sakramental Tobat.
Maka Sakramen ini tidak terarah hanya kepada masa yang lalu utk menghapus dosa yang telah dilakukan, tetapi terarah ke masa depan untuk menjamin kesehatan jiwa. Sakramen ini juga mampu monolong jiwa agar keingiannya yang terungkap dalam niat “tidak akan berbuat dosa lagi” - bisa menjadi realitas, bukan niat melulu saja.
Sakramen ini menghapus juga akibat-akibat dosa. Dan salah satu akibatnya adalah menghapus kelemahan manusia yang mendorong kita berbuat dosa lagi. Sebab setiap dosa menggerakkan suatu mekanisme psikis dalam bentuk kecenderungan untuk melakukan dosa itu sekali lagi.
Sakramen Tobat juga mempunyai kekuatan menghapus akibat-akibat dosa yang lain, yakni menghapus "hutang" kita terhadap keadilan Allah. Kekuatan jasa-jasa Kristus di sini melengkapi ketidakmampuan manusia menghapus hukuman yang seharuanya kita terima karena dosa. Kekuatan jasa Kristus ini mencurahkan ke dalam hati kekuatan baru, yang bisa menyingkirkan "mekanisme psikis" tadi, menegakkan "kemiringan", kecenderungan itu. Secara singkat bisa dikatakan bahwa sakrament ini memberi kekuatan untuk berjuang dan bartahan dalam kebaikan.
Masih ada satu keistimewaan Sakramen ini. Dalam semua Sakramen ada unsur yang disebut: materi sakramen (seperti air, roti minyak). Apa yang merupakan "materi Sakramen Tobat" ? - Perbuatan: sifat Pengakuan, penyesalan, niat. Inilah unsur-unsur pokok Sakramen ini. Seperti tanpa roti tidak ada Ekaristi begitu pula dalam Sakramen Tobat. Tanpa dosa, tanpa penyesalan dan pengakuan dan niat, tidak ada Sakramen Pengampunan. Berarti, dosa, pengakuan, penyesalan merupakan bagian integral Sakramen. Memikirkan ini saja kita sudah melibat bahwa dalam Sakramen ini terjadi suatu proses yang ajaib. Milik kita yang khas dan itu milik yang sangat merepotkan dan membebani, diambil dari kita dan dirubah oleb kuasa Allah. Mengherankan dan mengagumkan, bahwa apa yang justru merupakan tanda kelemahan kita (dosa) mendatangkan kuasa Allah yang menyelamatkan kita. "Materi" Sakramen ini berubah, menjadi kekuatan kreatifs, membuat kita lebih kuat terhadap kesulitan dan godaan. Mengingat hal-hal tadi kita bisa mengerti, bahwa sungguh menguntungkan kalau kita mengikuti ajakan Gereja untuk sering menerima Sakramen ini. Pengertian itu akan melindungi kita terhadap rutin, kebiasaan yang tidak enak dan karena itu begitu sering dilalaikan.
Berguna sekali kalau kita ingat masih satu hal lagi: Umat Gereja Purba mempunyai kepekaan besar terhadap kebenaran, bahwa dosa masing-masing orang, sangat merugikan seluruh keluarga kristiani. Dosa merupakan kesalahan bukan hanya terhadap Allah tetapi juga terhadap Gereja. Karena itu tobat dan penitensi dalam Gereja Purba ditentukan oleh uskup bersama dengan umat. Dan tobat dijalankan selalu di muka umum. Gereja - yang oleh St Paulus digambarkan sebagai "mempelai yang dipersiapkan oleh Kristus, penuh kemuliaan, tanpa noda dan cacat, tanpa apa-apa yang memalukannya, tetapi suci". Kita bisa mengerti bahwa orang kristiani yang berpaling dari Allah dan berbuat dosa, merupakan noda, yang seharuanya tak ada pada mempelai Kristus itu. Dosa melemahkan dan memalukan seluruh Gereja. Maka semua ikut prihatin.
Walaupun cara tobat banyak berubah, tetapi tetap benar bahwa dosa pribadiku, sungguh merugikan dan melemahkan seluruh Gereja, umat. Gereja sungguh ingin, agar tidak ada apa-apa yang mengganjil dalam persekutuan sempurna mempelai Kristus itu. (bersambung)

Salam dan doa
MoTe

SAKRAMEN REKONSILIASI [1]


Sebagai kata instituai Sakramen Pengampunan biasanya kita mengutip Yo 20,21-22: "Damai sejahtera bagi kamut Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Dan sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada".
Ini memang benar. Tetapi asal-usul Sakramen Pengampunan bisa dicari tempat dan sumber lain. Jesus tidak hanya mengajar umat, tetapi Jesus mencari juga kontak pribadi dengan orang. Kontak itu menyentuh secara individual, personal dan menimbulkan kesan yang sangat mendalam dan mampu mengarahkan orang kepada Allah. Maria dari Betania, si pemuda kaya, Nikodemus, wanita Samaria, wanita yang mengurapi kaki yeaus dengan minyak wangi, anak-anak yang dipeliknya dan diberkatinyat Zakeus, orang lumpuh di kolam Siloam, penjahat di salib, murid-murid dari Emaus, dan banyak yang lain adalah contoh dari kontak personal Jesus dalam karyaNya. Dengan cara ini kiranya Jesus mempersiapkan orang-orang untuk membentuk Gereja, umat. Jesus tidak pernah memperlakukan seseorang secara anonim, sebagai satu dari massa, tetapi Jesus selalu menghormati pribadi individual setiap orang. “Aku mengenal domba-dombaku dengan nama mereka masing-masing." Di sini nampak bahwa Ia selalu menjaga suatu keseimbangan yang luhur antara tekanan atas unsur sosial kodrat manusia, dan hormat tinggi bagi pribadi masing-masing orang.
Tetapi dalam konteks pengakuan dan pengampunan dosa ada hal yang mengganggu, terutama di antara si penitent dan Kristus, masuk orang yang ke tiga, yaitu imam. Seorang manusia yang berani mengatakan "Aku melepaskan dikau dari semua dosamu..." Kehadiran orang ketiga dalam hubungan penitent dan Kristus yang membuat banyak orang keberatan dan dirasa malah ganjil.
Untuk memami hal ini baiklah melibat dalam rangka karya Keselamatan. Jesus memanggil dan memilih para Rasul memberi kepada mereka pesan-pesan kongkret, mengutus mereka meneruskan karyanya, menyebarluaskan apa Dia sendiri ajarkan. Memberi mereka wewenang dan kuasa. Semua ini terjadi dalam kerja sama yang baik. Manusia tidak hanya menjadi orang yang pasif atau penonton saja, tetapi teman sekerja Allah.
Panggilan kepada imamat merupakan kharisma yang membutuhkan formasi dan penegasan obyektif dari luar. Dan hal itu dilakukan oleh para pengganti para nasul, yaitu uskup-uskup. Dan mereka melakukan itu juga dengan kewibawaan Kristus sendiri. Melalui Kristus mengalirlah segala rahmat dan anugerah yang menciptakan kesatuan baru manusia dengan Sumber segala rahmat, yaitu Allah Tritunggal Mahakudus. Dari Sumber itu mengalir hidup baru kepada seluruh umat, terjadi melalui pelayanan para imam Kristus. Di situlah Kristus berkarya dengan tangans, mulut dan hati seorang imam. Kristus mempermandikan orang, Kristus mengampuni dosa, Kristus merubah roti anggur menjadi Tubuh dan DarahNya. Mulut imam menjadi seperti hembusan dunia ilahi. Tangan imam seperti telapak tangan Kristus, telinga imam menjadi seperti alat penyadap surgawi. Jika imam "memperpanjang" in infinitum kurban Ekaristi dengan kata-kata "Inilah tubuhKu” "Ini darahKu” yang untuk pertama kalinya disabdakan Jesus dalam Perjamuan Terakhir, maka kita tahu, bahwa dalam bunyi suara imam ada kuasa Kristus sendiri. Kuasa yang sama yang pada perjamuan terakhir merubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, dan sekarang berkarya juga di semua altar di dunia. Memang, di hadapan misteri itu, manusia - imam tidak berarti apa apa. Tetapi manusia itu didiami Kristus.
Tuhan menampakkan Diri kepada Musa di padang gurun dalam sebuah semak yang bernyala. Waktu Musa mendekat hendak melibat kejadian aneh itu dari dekat, ia mendengar suara: "Jangan mendekat. Lepaskanlah sepatu, sebab tempat yang kauinjak itu adalah tanah suci." Suci, sebab Allah ada di situ.
Tempat di mana berlangsung pengakuan dosa merupakan tempat yang lebih suci dari tanah (holy ground) tempat Musa berpijak. Ini tempat di mana terpecahkan perang antara kejahatan dan kebaikan. Perang antara Allah dan setan. Tempat, di mana jiwa-jiwa manusia direbut kembali dari cengkeraman si jahat. Tempat, di mana orang melepaskan bukan sepatu,, tetapi “manusia lama”. Tempat di mana manusia mananggalkan pakaian yang dinajiskan dosa, dan dari tangan Allah akan menerima "pakaian" baru yang indah. (bersambung)

Imamat dan Perayaan Ekaristi

Para Romo dan rekan-rekan netter;
Saya temukan artikel kecil yang mungkin bisa berguna untuk sekedar menjadi bahan refleksi bersama. Atau sekaligus mungkin bisa menjadi semacam 'reminder' dan koreksi pribadi bagi para kaum berjubah akan tugas kegembalaannya. Dengan harapan, semoga refleksi kecil ini bisa membantu kita mengembalikan essensi pokok tugas panggilan kaum berjubah sebagai 'alter Christo', membawa keselamatan bagi mereka yang dilayaninya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setiap Hari Kamis Putih, khususnya pada misa krisma, seluruh kaum berjubah merayakan kembali 'hari jadi' mereka. Pada kesempatan ekaristi ini mereka diundang kembali untuk memperbaharui komitmen mereka sebagai barisan selibater dan hirarki yang bertugas meneruskan karya Kristus dalam menghadirkan perayaan ekaristi kepada Gereja dan dunia. Pada perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Jesus dan para muridNya, 'sakramen' imamat lahir di dunia. Dalam Sabda Jesus 'Lakukanlah ini' sebagai kenangan akan Daku' tersirat dan tersurat tugas meneruskan perjamuan kasih ini. Panggilan pelayanan imamat, pertama-tama harus didasarkan pada tugas perutusan Jesus ini, mengenang dan menghadirkan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitanNya dalam perayaan Ekarist. Maka bagi seorang imam, perayaan Ekaristi seharusnya menjadi 'pusat dan sumber iman dan kehidupan' mereka setiap hari. Karena dari sinilah mengalir sumber segala rahmat bagi pelayanan. Lalu sikap atau 'attitude' apa yang harus dibangun terus dan dihayati oleh para imam dalam hubungannya dengan pelayanan perayaan Ekaristi. Paling tidak ada tiga hal pokok yang selalu harus disadari, dihayati dan dilakukan sebagai tugas utama mereka dalam pelayanan imamat mereka.
Pertama; seorang imam haruslah seorang yang sungguh beriman (a believer). Dalam kotbahnya di Hari Kamis Putih tahun 2005 yang lalu, paus Benedict XVI mengakatan "tugas utama yang harus dilakukan oleh seorang imam adalah menjadi orang yang sungguh beriman'. Disini diingatkan dan ditegaskan bahwa seorang imam pertama-tama adalah seorang yang menghayati dan mewujudkan apa yang diyakini dan diimani. Ia haruslah menjadi 'a man of faith' yang selalu mengandalkan Allah sebagai sumber hidupnya. Ia adalah seorang yang selalu berdialog, bercakap-cakap dan selalu berhubungan dengan Allah lewat ketekunan dan kesetiannya dalam doa. Maka imam haruslah menjadi 'seorang pendoa' atau 'a man of prayer'. Selalu mempunyai waktu untuk duduk dalam keheningan diri, terus menerus mencoba memahami kehendak Allah dan selalu melakukannya dalam 'discerment' yang serius. Melalui doa dan 'pembedaan Roh' iman mereka akan semakin bertumbuh kuat dan dalam. Selain itu, imam adalah seorang yang selalu menggali dan mendalami imannya lewat dan dengan pertolongan Kitab Suci dan ajaran Gereja. Jesus dalam Ekaristi adalah 'a man of faith' yang terus menurus dan tekun mendangandalkan Allah Bapa sebagai sumber kehidupanNya.
Imam tanpa hidup doa, adalah kosong. Ajaran tanpa wujud menjadi kurang lengkap. Hidup doa tidak bisa diganti dengan kesibukan pelayanan. Kedua hal merupakan dua sisi yang harus berjalan seimbang. Pelayan tanpa doa menjadi kering, sebaliknya doa tanpa perwujudan menjadi omong kosong. Dalam dunia modern ini betapa kita sering jumpai imam-imam yang tidak mempunyai waktu lagi untuk berdoa. Mereka begitu asyik dengan berbagai kesibukan pelayanan. Sering kali mereka beranggapan bahwa mereka bisa berdoa dalam pelayanan. Betapa seringkali umat juga merasa prihatin terhadap para gembalanya. Mereka lebih banyak meluangkan waktu di depat TV dari pada di ruang doa. Jesus dalam kesibukannya yang luar biasa, hingga tidak sempat untuk makan pun, masih mengutamakan waktu untuk pergi di tempat yang sepi untuk berdoa.
Dari beberapa penyeledikan para ahli ditemukan bahwa kebosanan dalam pelayanan (burn out) pertama-tama berawal dari kesibukan yang begitu menyita waktu dan perhatian. Tetapi melupakan dan mengabaikan waktu dan saat hening untuk berdoa. Tenaga dan pikirannya diserap habis, namun tidak pernah diisi kembali, sehingga lama-lama menjadi habis. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi diantara kaum berjubah karena mereka melupakan hakekat dirinya sebagai 'a man of faith and prayer'
Kedua; seorang imam adalah seorang 'pelayan' (a servant). Karena perubahan dan perkembangan sejarah, imamat akhirnya menjadi dan mempunyai status khusus dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Karena jabatan khusus, mereka menjadi anggota hirarki, dan sering diberi gelar sebagai 'yang terhormat, yang mulia' Hal ini membuat fungsi utama imam sebagai 'pelayan' menjadi kabur dan hilang. Status dan posisi yang istimewa ini bahkan membuat imam menjadi lupa akan esensi dari panggilannya.Bukan hal yang rahasia lagi dalam kehidupan sehari-hari bahwa imam lebih banyak dilayani oleh umat dari pada melayani. Bahkan banyak imam yang justru menuntut ini dan itu dari umat, yang tanpa sadar sebenarnya justru mengingkari 'hakekat imamatnya', sebagaimana Jesus sendiri 'datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani'. Kata 'pelayan' menjadi sangat asing ditelinga para kaum berjubah.
Panggilan imam sebagai 'pastor atau gembala' ditempatkan sebagai posisi kedua dalam pelayanan mereka. Padahal imam sebagai pastor atau gembala umat, lebih bersumber pada Jesus sebagai gambala yang baik, yang dengan rela merendahkan diri menjadi 'pelayanan para rasul' yang diwujudkan dalam pembasuhan kaki mereka. Sebagai seorang 'pelayan', imam seharusnya selalu berada bersama dan ditengah-tengah umat kegembalaannya. Mereka mengenal dan mengetahui situasi dan kondisi umatnya. Mereka mempunyai kepekaan dan kepedulian terhadap kehidupan mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, dan mengalami apa yang mereka nikmati. Imam sungguh mengetahuai apa yang umat perlukan dan apa yang mereka inginkan. Ia harus mampu menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi umatnya, terutama bagi mereka yang sedang menderita. Imam adalah orang yang berani dan sukarela menderita bagi kepentingan umatNya. Semua ini bisa diwujudkan oleh mereka lewat teladan kepemimpinannya yang sungguh berorientasi pada 'servant leadership'.
Mungkin banyak kita yang agak sinis merenungkan bagian ini. Karena kenyataan yang ditemukan dalam hidup, sikap ini menjadi semacam kerinduan yang sulit ditemukan lagi. Banyak imam yang tidak lagi mempunyai semangat melayani, tetapi sebaliknya selalu ingin dilayani. Pelayan di paroki yang seharusnya menjadi tugas utama, kurang dilakukan dengan senang hati bila tidak ada fasilitas dan kemudahan lainnya. Sulit ditemukan dalam dunia modern ini figur seorang imam yang sungguh mampu mewujudkan fungsinya secara konsisten sebagai gembala umat, yang tahu dan merasakan suka duka umatnya. Banyak imam yang lebih senang duduk dibelakang meja kerja diparoki, me-management paroki dari pada 'mengembalakan' umat dengan mengunjungi dan menyapa mereka di tempat dimana mereka hidup dan berjuang.
Yang ketiga adalah bahwa seorang imam adalah 'seorang pemersatu dan pembangun jemaat'. Sakramen Baptis membuat kita menjadi umat Allah, anggota Gereja. Lewat baptis yang kita terima, kita ikut ambil bagian dalam tugas perutusan Kristus didunia ini. Ada yang dipanggil untuk tugas pelayanan khusus sebagai Imam, ada yang menjadi biarawan-biarawati dan ada yang menjalankan tugas ini sebagai seorang awam. Sebagai seorang gembala, imam dipanggil secara khusus untuk menjadi 'seorang pembangun dan pemersatu jemaat'. Karena tugas panggilan ini, hendaklah seorang imam bersusaha untuk mengesampingkan interes pribadi dan selalu menyadiakan dirinya bagi siapa saja. Dia harus terus menerus berusaha menjadi dan menyadari panggilan hidupnya sebagai 'everything for everyone'.
Oleh karena peranan dan fungsinya sebagai pembangun dan pemersatu jemaat, maka kerjasama dengan umat dalam pelayanan menjadi penting. Gaya kepemimpinannya pun sangat menentukan melayanan macam apa yang ingin diwujudkan dalam karya pastoralnya. Maka gaya dan fungsi kepemimpinan yang kirinya cocok dalam pola pembangunan jemaat adalah pendampingan, pemberi semangat dan berbagi, bukan mendominasi dan otoriter.
Akhirnya, perayaan ekaristi menciptakan seorang imam, dan imam menghadirkan perayaan ekaristi. Dalam pelayanan Sakramen Ekaristi, Jesus sungguh harus menjadi sumber inspirasi dan kekuatan sehingga diharapkan bahwa imam sungguh mampu menjadi saksi Kristus yang hidup bagi umat lewat pelayanannya.
Masih banyak hal yang bisa direfleksikan sebagai tugas gembala, tetapi tiga hal ini sudah cukup memadai bila diwujudkan secara penuh dalam pelayanan pastoral para imam.
Vivat Cor Jesu / MoTe

Friday, March 17, 2006

BENARKAH JESUS MEMPUNYAI SAUDARA KANDUNG’

Pertanyaan benarkan Jesus mempunyai saudara, sering secara tiba-tiba datang kepada kita. Dan biasanya pertanyaan ini justru muncul dari sesama kita yang mengimani Jesus yang sama. Sebenarnya 'concern' mereka bukan untuk mencari kebenaran fakta bahwa Jesus mempunyai saudara. Tetapi lebih-lebih sebagai usaha dari kelompok 'garis keras' untuk mematahkan atau penyangkal 'dogma keperawanan Maria. Kalau Jesus mempunyai saudara kandung, maka Maria tidak lagi perawan. Itulah tujuannya, karena sebagaimana kita pahami, peranan Maria dalam Gereja Katolik sangatlah kuat.
Berhadapan dengan masalah ini, kebanyakan dari kita biasanya tidak siap untuk menjawabnya karena ketidaktahuan kita akan masalah ini. Dalam tulisan ini saya akan memberikan sedikit tambahan pengetahuan kepada teman-teman tentang masalah ini. Jawaban ini bukan berasal dari saya, tetapi bersumber pada 'buku pintar' yang sama miliki dan saya coba sadur dalam bahasa yang mudah kita mengerti, semoga berguna.
Kita semua setuju bahwa dalam Perjanjian Baru, kita menemukan kata fakta tertulis disebutkan bahwa Jesus mempunyai 'saudara'. Misalnya dalam Mateus 12.46 dikatakan bahwa "Ketika Jesus sedang berbicara dengan orang banyak itu, ibuNya dan saudara-saudaraNya berdiri di luar dan berusaha menemui Dia". Sedangkan dalam Mateus 13.55 juga disebutkan "Bukankah Ia ini anak tukang kayu? IbuNya bernama Maria dan saudara-saudaraNya: ... Yakobus, Jusuf, Judas? Dan bukankah saudara-saudaraNya perempuan ada bersama kita?" Sedangkan dalam Kisah Para Rasul (1:14) juga menyebutkan "Mereka semua bertekan dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Jesus, dan dengan suadara-saudara Jesus'.
Dari kutipan-kutipan diatas ini memberi bukti bahwa Jesus mempunyai saudara dan saudari. Masalah yang bisa kita pertanyakan adalah 'apakah istilah suadara yang digunakan disini menunjuk pada 'saudara dalam arti saudara kandung dari satu keluarga atau suadara sepupu dari keluarga dekat'. Masalah lebih jauh akan muncul adalah, seandainya benar bahwa Jesus mempunyai saudara dan saudari kandung, dan berarti Maria mempunyai anak lain selain Jesus, maka semua ini akan bertentangan dengan kepercayaan Kristiani sejak awal yang mengakui keperawanan Bunda Maria. Bagaimana masalah ini bisa dijawab? Ada beberapa jawaban yang bisa kita berikan atas masalah ini dengan kembali mengutip bukti-bukti dari Kitab Suci.
Pertama-tama yang harus disadari adalah tidak ditemukan dan dituliskan 'secara tegas dan jelas' dalam Kitab Perjanjian Baru bahwa Maria mempunyai anak kandung lain, atau bahwa Jesus mempunyai suadara kandung yang lahir dari orang tua yang sama. Meskipun disebutkan disitu bahwa Jesus mempunyai 'saudara' tetapi tidak pernah disebutkan bahwa mereka adalah anak-anak dari Maria dan Jusuf. Karena tidak pernah disebutkan secara tegas dan jelas, hal ini menegaskan bahwa Jesus memang tidak mempunyai suadara-saudari kandung. 'The silency in this respect is very noteworthy.
Ada beberapa contoh peristiwa dalam Perjanjian Baru, yang sebenarnya bisa menunjuk dan diharapkan 'tampil' sebagai bukti kuat bahwa Jesus mempunyai saudara, tetapi hal yang demikian justru tidak muncul dan terjadi. Misalnya
a]. Dalam injil Lukas 2:41-50 antara lain dikatakan: " Tiap-tiap tahun orang tua Jesus pergi ke Jerusalem pada hari raya Paska'. dan ketika Jesus berumur 12 tahun Jesus hilang di Bait Allah. Tidak ada satu kata 'saudara' pun dalam perikopa ini disebutkan. Bukankah seharusnya mereka juga tinggal serumah, sekampung dengan Jesus di Nasareth. Bukankah seharusnya mereka juga ikut berjiarah ke Jerusalam bersama dengan mereka. Bukankah dengan tegas dikatakan bahwa setiap tahun mereka pergi ke Jerusalam? Seandainya Jesus hilang, bukankah bisa diduga pula bahwa semestinya saudara-saudarinya ikut hilang bersama Dia!!. Tetapi bagaimana Ia bisa hilang sendirian. Dan bukankah Maria dan Jusup bisa pergi bersama-sama anak mereka mencari Jesus ke Jerusalem, tetapi kenapa mereka tidak mencari Jesus bersama dengan mereka?
b]. Sekali lagi dalam perikopa ini dikatakan bahwa setelah Jesus diketemukan kembali, bersama dengan orang tuanya mereka kembali ke Nasareth dan " ..dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka...dan Jesus makin bertambah besar hikmahNya, dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia'. Sekali lagi disini tidak disebutkan 'saudara'. Seharusnya, sebagai anggota keluarga yang hidup satu rumah, mereka pasti akan mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan hidup Jesus. Tetapi yang disebutkan disitu bahwa Jesus makin bertambah hikmatNya dalam asuhan orang tua mereka. Semestinya kalau konswen harus disebutkan juga 'bersama dengan saudara-saudari kandungnya', karena dalam kehidupan keluarga, saudara kandung biasanya juga mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan hidup seseorang. Tetap hal yang demikian sama sekali tidak ditemukan dalam Perjanjian baru.
c. Ketika Jesus sedang bergantung disalib, menjelang kematiannya, Ia menyerahkan Maria kepada muridNya, Yohanes untuk merawat dan menjaganya. Dikatakan dalam Yohanes 19.26-27. "Ketika Jesus melihat ibuNya dan murid yang dikasihiNya disampingnya, berkatalah Ia kepada ibuNya; 'Ibu inilah anakmu!'. Kemudian kataNya kepada muridNya 'Inilah ibumu'. Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya. Pertanyaan logis dan sangat manusiawi yang bisa kita munculkan dalam peristiwa ini adalah, 'kenapa Jesus mempercayakan ibuNya kepada murid terkasih, bila Jesus mempunyai saudara-saudari kandung? Tidak perlu ada diskusi lebih lanjut, bila Jesus memang mempunyai saudara kandung, adalah kewajiban dan tanggung jawab saudara kandungNyalah yang harus mengurusi dan bertanggung jawab atas hidup ibuNya, bukan muridNya.
Jadi dalam Perjanjian Baru, sama sekali tidak ditemukan sama bukti bahwa Jesus mempunyai saudara-saudari kandung. Lalu dari mana para penginjil dan kita mengartikan kata saudara Jesus?
Dalam budaya Asia, pada khusus kata 'saudara' mempunyai arti yang sangat luas, tetapi sekaligus sangat dekat. Semua keluarga besar biasanya mempunyai relasi dekat dan karena itu sangat biasa memanggil mereka sebagai 'saudara'. Bahkan pada kenyataam walaupun mereka tidak mempunyai hubungan darah persaudaraan sekalipun, kita juga memanggilnya mereka 'saudara'. Bahkan banyak bahasa di Asia yang tidak mempunyai kata 'cousin' atau saudara sepupu. Demikian pula halnya dalam bahasa Aramic dan Ibrani, mereka tidak mempunyai kata 'cousin - saudara sepupu', semua mereka menyebutnya sebagai saudara. Ada bukti yang bisa kita lihat dalam Perjanjian lama. Abraham dengan Lot, dikatakan "Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan gembalamu, karena kita ini kerabat (saudara) (Kej 13.8). Sedangkan dari Kej 11.27 kita mengetahui bahwa Lot adalah saudara sepupu Abraham.
Benar bahwa dalam bahasa Yunani mempunyai kata khusus 'cousin - saudara sepupu' [anepseos], tetapi sebagaimana kita ketahui, walaupun Injil juga ditulis dalam bahasa Yunani, tetapi para penginjil sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya semitic. Dan lepas dari pengaruh itu, selain Lukas, mereka semua adalah orang-orang Yahudi. Maka mereka akan menggunakan kata 'saudara' sebagai ganti kata 'cousin - saudara sepupu' untuk saudara Jesus. Maka kesimpulan yang diakui secara tegas oleh iman Katolik, bahwa saudara dan saudari Jesus yang kita temukan dalam Injil adalah anggota keluarga besar, dan tidak lain mereka itu adalah saudara sepupu.


MoTe

Monday, February 27, 2006

DARIMANA DATANGNYA DERITA [2]

Menyambung refleksi saya yang pertama, dalam refleksi ini saya ingin membagikan pendapat bagaimana kita belajar membuat 'penderitaan' menjadi 'blessing' bagi kehidupan kita. Kedengarnya 'naif' sekali, terutama bagi yang sedang mengelaminya. Dan juga bagi mereka yang melihat penderitaan sebagai peristiwa alam yang tidak ada hubungannya dengan iman. Namun menurut hemat saya, kalau kita mau melihat dengan 'kaca mata imam' setiap peristiwa hidup itu mempunyai makna yang bisa kita petik. Mencari makna dibalik peristiwa tragis, hanya bisa dilakukan bila kita mempunyai 'daya dan kemampuan' refleksi yang murni. Dengan mempertanyakan, dan bukan mempermasalahkan, apalagi mencari pembenaran diri dan 'kambing hitam' membuat kita terbelenggu dalam pikiran sempit kita. Secara pribadi saya menyakini bahwa 'Tuhan selalu mempunyai kehendak, dan kehendakNya itu adalah baik, demi keselamatan manusia'. Berpijak pada keyakinan ini ada beberapa cara bagaimana membuat 'pendiritaan' menjadi berkat bagi kita.
Dengan memahami bahwa seringkali pendiritaan itu diakibatkan oleh karena perbuatan kita yang jahat, misalnya karena kebencian, dendam, iri hati, nafsu. Maka yang harus kita buat adalah 'eling dan waspada' untuk tidak berbuat jahat kepada diri kita dan sesama, karena kita mengetahui konswensi apa yang akan terjadi dari perbuatan jahat itu. Sebagai orang beriman, salah satu 'tameng rohani' yang paling ampuh untuk tetap waspada dan menjauhkan diri dari tindakan jahat adalah 'doa dan menerima sakramen. Dari sumber inilah kita baik secara moral dan spiritual dikuatkan dari godaan berbuat jahat. Tindakan ini lebih bersifat preventif, yakni membentengi diri supaya tidak berbuat jahat.
Penderitaan bisa menjadi sarana manusia bertobat dan kembali kepada Tuhan, baik secara pribadi maupun bersama. Dalam hal ini kita bisa belajar dari pengalaman bangsa Israel, terutama dalam Perjanjian Lama. Perang, bencana dan malapetaka seringkali membuat bangsa itu menjadi sadar bahwa mereka sering berpaling dari Allah dan melakukan kejahatan. Kesadaran akan penderitaan ini membuat mereka bertobat dan kembali kepada Tuhan. Bahwa lalu mereka menghubungkan peristiwa itu sebagai hukuman dari Tuhan, itu memang sering terjadi, sesuai daya tangkap dan penghayatan akan Allah dalam kehidupan iman mereka.
Positif aspek yang lain yang bisa kita pelajari adalah bahwa penderitaan bisa menjadi alat atau sarana penebusan (atonoment) dan penyesalan (expiation). Jesus adalah teladan utama dalam hal ini. Dia menderita sengsara karena menangung dosa kita supaya manusia memiliki hidup abadi. Sebagai pengikut Kristus sikap dan teladan Jesus ini semestinya juga harus menjadi landasan kehidupan kita menghadapi penderitaan di dunia ini. Selain sebagai sarana penebusan dan penyesalan diri, penderitaan juga bisa dipersembahkan sebagai 'korban persembahan dan silih' kepada Tuhan. Jesus sendiri mempersembahkan derita sengsara dan kematian-Nya sebagai korban dan persembahan kepada Tuhan yang memperbaharui segalam persembahan dan korban manusia, sekali dan untuk selamanya. Penderitaan mempunyai positif aspek bila teladan dan 'attitude' Jesus ini juga menjadi sikap dasar iman kita.
Banyak orang suci menghayati penderitaan sebagai jalan 'pemurnian dan penyucian diri'. Bagaikan emas yang dibakar dalam tungku pembakaran untuk menjadi semakin murni, demikian pula halnya 'penderitaan' kita, menjadi semacam 'cobaan atau ujian' yang akan memurnikan kesetiaan kita kepada Tuhan.
Aspek positif lain yang sungguh sulit untuk dimengerti dan dihayati, bahwa penderitaan seringkali bisa menjadi 'tanda bukti' dari cinta. Hal ini bisa kita lihat dan buktikan di dalam cinta Tuhan kepada kita. Tuhan memberikan PutraNya yang tunggal kepada kita manusia sebagai korban silih atas dosa. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh 3. 16). Keutumaan kasih kristiani menjadi nyata bila kita mampu merelakan diri menderita bagi orang lain. Jesus sendiri bersabda: "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnnya" (Yoh 15.13).
Aspek positif lain yang bisa kita lihat dari adanya penderitaan adalah mempersatukan semua aspek kehidupan untuk satu tujuan mulai' yakni 'menolong mereka yang menderita'. Mereka semua disadarkan dari 'egoisme' pribadi maupun sosial, bahwa hidup mereka didunia ini tidak sendirian. Penderitaan yang dialami sesama menggugah nurani manusia yang masih 'peka dan hidup' untuk simpati, empati dan bertindak menolong mereka. Melihat tragedi tsunani hal menjadi nyata. Seluruh dunia bangkit dan bertindak didoroang oleh jiwa kemanusiaannya untuk menolong sesamanya yang menderita.
Teman-teman netter, inilah sekedar refleksi yang muncul dari kegundahan hati saya. Perang batin (spiritual combat) dan jiwa saya membuat saya merenung. Tetapi dibalik renungan itu saya juga masih tetap bangga, bahwa dunia memang belum sepenuhnya 'tuli, ndablek dan bebal'. Masih ada manusia-manusia berhati dan bernurani. Masih ada negera yang perduli dan membantu sesama mereka yang menderita. Bagi saya pribadi, memberi harapan, mendukung dan memberi penghiburan kepada mereka yang menderita lebih utama dan beriman dari pada mengajak orang untuk sadar diri bahwa Allah sedang 'menghukum umatnya'. Mengerti dan memahami derita itu lebih berguna, karena membuat kita menjadi lebih peka bahwa dalam penderitaan sedahsyat apapun Tuhan toh masih tetap hadir dan menyertai. Siapa yang menggerakkan hati para 'relewan' penderma' dan semua orang yang terlibat dalam proyek kemanusiaan itu? Bukankah Roh Kudus, bukankah 'the compassionate God' yang tetap berkarya diantara umatNya yang menderita. Tuhan berwajah ganda...? Inilah kesulitan imanku, Tuhan yang dahsyat, kejam dan menghukum, tetapi Tuhan yang berbelas kasih hadir bersama-sama dalam penderitaan yang dicipatkanNya sendiri. Aku tidak yakin.... bahwa Tuhan yang kusembah adalah Tuhan yang demikian. Inilah misteri imanku. Tetapi bagiku memandang Jesus yang disalib memberikan penghiburan dan kebahagiaan bahwa Dia rela menderita, wafat dan salib karena aku, dosaku. Dan bukan karena Dia menderita karena menerima hukuman Allah. Amin

salam dan doa
MoTe

DARIMANA DATANGNYA DERITA [1]

Saya ingin sekedar sharing refleksi berpijak pada kesedihan hatiku yang mendalam atas bencana gempa bumi yang disertai dengan Tsunami beberapa waktu yang lalu. Saya tidak bermaksud mengajar dan menelaah apa yang teman-teman lain yakini. Melainkan ingin sekedar sharing refleksi yang bersifat 'subyektif' karena bersumber pada apa yang saya yakini. Terus terang, ada perasaan 'speechless powerless dan hopeless', melihat ribuan korban terus berjatuhan setiap hari. Derita panjang menjadi akibat dari bencana kemanusiaan ini. Maka rasanya tidak ada kekuatan untuk terlibat diskusi yang begitu hangat beberapa waktu lalu. Dalam hati saya terus melibatkan diri dalam diskusi itu, walaupun sekedar membaca dan merenungkan.
Dalam refleksi pribadi, saya bertanya diri dari mana datangnya penderitaan ini? Dari milis yang saya ikuti, terjadi diskusi yang sangat menarik. Namun saya sendiri senang berdiam diri dan mencoba mengerti dan memahami, mengikuti alur pikir dan cari pandang para netter, dari pada memberikan pendapat saya. Sebagaimana saya katakan, bahwa saya speechless, tidak mampu berpikir, apalagi berdebat. Bencana ini terlalu sulit untuk saya 'telan' dengan logika otak pikir saya. Berkecamuk dalam pikiran saya, benarkah mereka telah menjadi korban karena 'hukuman Tuhan'. Duh Gusti, siapakah aku ini sehingga berani berpikir jelek, menghakimi sesamaku, bahwa mereka dihukum karena dosa-dosanya. Mereka itu sudah menderita, bahkan kehilangan kehilangan segalanya. Sementara aku hanya bisa ngomong dan tidak berbuat apa-apa. Berdoa pun masih disalahkan, karena doanya tidak mempunyai arti, mendoakan orang yang dihukum Allah. Itu pendapat teman-temanku. Duh Gusti, bukankah mereka itu juga sesasamku, teman seperjalanan dalam perjiarahan. Apakah 'hak dan kelebihanku dari mereka' sehingga aku berani menjatuhkan vonis hanya berdasarkan apa yang saya yakini. Aku jadi diingatkan akan debat Jesus dan para ahli Taurat dan Farisi, ketika mereka melaporkan kecelakaan yang terjadi di kolam Siloam. Mereka semua yang mati dihukum oleh Allah karena dosa yang mereka perbuat, demikian tuduhan para Farisi. Dan Jesus menyangkalnya.
Dari mana datangnya derita ini? Pertanyaan ini terus bergema dalam hatiku. Dan kenapa harus ada derita. Bukankah Allah yang saya yakini adalah Allah yang maharahim dan maha kasih. Tegakah Dia membiarkan umat yang diciptakan dan dicintaiNya ini 'mati tanpa dihormati dan didoakan oleh keluarganya". Bahkan dibuang dan dikubur seperti binatang. Bukankah mereka itu adalah 'citra dan gambaran' wajahNya sendiri? Adakah yang bisa kita pelajari dari derita ini. Apakah sebenarnya kehenda Allah dibalik tragedi kemanusiaan ini? Hatiku terus bergolak, antara meyakini Allah yang maha kasih, dan Allah yang membiarkan kesengsaraan itu terjadi. Walaupun dalam hati kecil saya tetap berkata, bahwa Allah tidak jauh. Allah tidak tidur, tidak pergi. Melainkan Dia ada bersama mereka yang menderita, dan masih tetap berkarya diantara mereka yang punya hati dan kasih. Dia ada 'hanya sejauh doa', kata penyanyi.
Aku terus berpikir dan merenungkan, sambil mencoba mencari-cari jawaban yang mungkin berguna bagiku dan bagi teman-teman yang lain. Akhirnya kudapatkan jawaban yang aku sharingkan disini.
Ajaran Gereja memahami 'derita' sebagai suatu misteri, seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri. Karena misteri, maka sulit pula untuk dimengerti secara tuntas berdasarkan pada akal budi kita. Setiap orang mempunyai kebabasan untuk menGereja memandang 'penderitaan' secara positif, ini bukan sebagai karma atas perbuatan atau dosa, melainkan akibat kondisi manusia yang jatuh dari dosa. Hal ini dikuatkan oleh kesaksian dan teladan Jesus kita mengalami 'sakratul maut'. "Ya Bapa, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki" (Mat 26:39). Dalam diri Jesus Kristus kita temukan teladan utama nilai positif dari penderitaan, karena dia menderita, mati dikayu salib untuk menyelamatkan dunia. Inilah aspek positifnya, derita membawa keselamatan.
Maka menurut ajaran yang saya yakini, bahwa penderitaan itu bukan disebabkan oleh Allah yang adalah pencipta segala yang baik, tetapi bisa jadi Allah membiarkan itu terjadi demi tujuan yang baik. Walaupun bagi kita seringkali sangat sulit memahami makna positif atau keuntungan dibalik penderitaan itu sendiri. Lalu dari mana datangnya 'penderitaan' itu.
Penderitaan datang kepada kita melalui berbagai cara. Pertama-tama penderitaan itu adalah suatu yang normal, suatu keadaan yang melekat pada kondisi manusia sebagaimana adanya. Selama manusia masih berjuang dan hidup, maka penderitaan itu akan selalu bersama-sama dan seiring. Dengan katak laian, dimana ada hidup, disitu ada penderitaan. Misalnya, penderitaan yang berasal dari penyakit, kecelakaan atau kondisi negatif keadaan manusia lainnya.
Penderitaan bisa juga disebabkan oleh peristiwa yang terjadi dalam kaitannya proses alam semesta. Misalnya bencana alam, seperti banjir, angin topan, tsunami, gempa bumi dan bencana kelaparan. Semua peristiwa ini membuat manusia menderita. Manusia tidak bisa mengelak dari bencana ini, dan seringkali menjadi korban dari peristiwa ini.
Penderitaan bisa juga disebabkan oleh tindakan bebas manusia yang tidak bertanggung jawab, yakni penderitaan yang disebabkan oleh tindakan jahat manusia. Misalnya tindakan jahat yang membawa derita yang dusebabkan oleh kebencian, dendam, keserakahan dan kerakusan, kesombongan dan sikap-sikap jahat lainnya. Dalam hal ini manusia adalah penyebab dan bertangung jawab atas akibat penderitaan itu.
Merenungkan peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami, dan mencoba memahami beberapa pendapat yang dilontarkan oleh para netter, saya berpendapat bahwa karena gempa bumi ada salah satu akibat dari proses alam. Maka perbedaan pendapat mengenai 'penyebab utama' dari gempa itu sangat ditentukan oleh 'sudut pandang' dan cara berpikir manusia itu sendiri. Pendapat itu menurut saya 'syah' dan 'bebas' walaupun soal kebenaran dari pendapatnya perlu diuji dan dipertanyakan. Boleh saja saudara Moslim berpendapat bahwa 'musibah gempa bumi dan tsunami' itu merupakan 'hukuman dari Tuhan', karena keyakinan (sistem belief) mereka menerima Tuhan sebagai yang menganjar yang benar dan yang menghukum yang salah. Apakah Allah memang begitu, itu adalah masalah iman. Boleh saya, orang Kristen berpendapat yang sama, karena tidak di sangkal bahwa Allah yang ditampilkan dalam Perjanjian Lama seringkali mempunyai nada yang sama, Tuhan mengganjar dan menghukum. Mungkin orang Hindu dan Budha akan mengatakan yang lain.
Dalam hal ini saya berpendapat bahwa 'berdebat' mengenai masalah ini adalah tidak ada artinya, bila kita hanya bersikeras pada keyakinan kita sendiri tanpa memahami latar belakang pendapat yang lain. Kalau kita mampu mengerti dan menempatkan masalahnya dalam kontek dimana iman menjadi pijakan pendapat akan membuat kita untuk lebih bijaksana memandang masalahnya. Dan menurut hemat saya tidak ada gunanya kita mempertahankan pendapat, bahwa pengertian yang saya miliki adalah yang paling benar. Terbuka pada pendapat orang lain akan membuat kita semakin diperkaya dan diperteguh iman keyakinan, karena dengan melihat perbedaan yang kita miliki membuat kita menjadi hormat dan menerima bahwa kita ini berbeda, tetapi satu perjalanan menuju Allah dan surga yang satu.
Maka penting bagi saya sekarang ini adalah melihat 'akibat positif' yang ditimbulkan oleh bencana alam ini. Karena dengan mampu melihat aspek positif dari peristiwa ini kita akan belajar banyak untuk membuat dunia ini tempat yang aman untuk dihuni oleh semua orang. (bersambung)

salam dan doa
Mo Te van Kerala

Saturday, February 25, 2006

ALLAH MAHA PENGAMPUN [2]

Allah Mengampuni melalui Jesus
Judul ini sudah bisa menimbulkan pertanyaan dan masalah bagi mereka yang hanya mengakui Jesus sebagai nabi untuk orang Israel. Hal ini bukanlah hal baru, sejak Jesus masih hidup pun hal ini sudah menjadi masalah besar. Jesus dituduh menghojat Allah oleh orang-orang Jahudi karena dia berkuasa mengampuni dosa. Dan sebagaimana telah kita lihat dalam bagian pertama tayangan ini, memang hanya Allah lah yang berhak mengampuni dosa. Dan itu jugalah yang diyakini oleh orang Jewish, sehingga ketika Jesus mengampuni dosa orang bahkan melakukan hal itu pada hari sabat, maka mereka berpendapat orang ini harus mati demi kebenaran agama. Dan itulah yang terjadi, walaupun dihadapan Herodes dan Pilatus tidak diketemukan kesalahan sedikit pun dalam Dia, namun para pemimpin agama, para imam agung, ahli taurat dan pemuka rakyat bersikeras untuk membunuh Jesus. Lebih baik satu orang mati sebagai korban, demi keselamatan seluruh bangsa, itulah alasannya.
Untuk mengerti lebih lanjut keyakinan ini, baiklah kita ambil contoh apa yang dikatakan oleh Injil. Dalam Luk 5:17-25, kisah mengenai orang lumpuh yang digotong masuk lewat atap rumah, dan ketika Jesus melihat iman orang itu berkatalah Ia: "Hai, saudara, dosamu sudah diampuni". Kita bisa melihat apa reaksi para ahli Taurat dan orang Parisi: "Siapakah orang yang menghojat Allah ini. Siapakah orang yang bisa mengampuni dosa selain dari pada Allah". Jesus tahu pikiran orang-orang ini, dan mengatakan: "Apakah yang kamu pikirkan dalam hatimu. Manakah yang lebih mudah, mengatakan: Dosamu sudah diampuni, atau mengatakan: bangun dan berjalanlah?". Kemudian Jesus menyatakan diri lebih tegas lagi siapa diriNya dengan bersabda: "Tetapi supaya kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa - berkatalah Jesus kepada orang lumpuh itu: "Kepadamu Kukatakan, bangunlah dan angkatlah tempat tidurmu, dan pulanglah ke rumahmu"
Kisah yang hampir sama juga terjadi dalam Luk 7:36-50. Ketika Jesus sedang diundang makan di rumah orang Farisi, ketika mereka sedang makan, Jesus didatangi oleh seorang perempuan yang terkenal sebagai orang berdosa. Ia dengan tanpa malu datang kepada Jesus dan membasuh kakiNya dengan air mata, dan mengusapinya dengan rambutnya, menciumnya kemudian mengurapinya dengan minyak wangi. Orang Farisi yang mengundang Jesus 'ngedumel' dalam hatinya. Dan akhirnya Jesus meminta pendapat kepada Petrus mengenai penghapusan orang yang berutang kepada tuannya. Singkat cerita (baca sendiri kisahnya) karena perbuatan wanita itu, kemudian Jesus berkata mereka: "Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih". Dan kepada wanita itu ia berkata: "Dosamu telah diampuni". Dan orang banyak yang ikut makan bersama Jesus itu berpikir dalam hatinya: "Siapakah ini, sehingga ia dapat mengampuni dosa".
Dari dua kisah ini, dan masih banyak lagi kisah-kisah lain yang bisa kita temukan dalam Injil, kita menjadi yakin, semasa Jesus masih hidup seperti kita, sebagai manusia, Ia telah mempunyai kuasa mengampuni dosa. Dan kuasa itu memang menjadi bahan perdebatan dan pertengkaran bagi mereka yang berpegang teguh pada keyakinan, bahwa hanya Allah saja yang berkuasa mengampuni dosa. Namun Jesus tidak mundur, walaupun orang tidak menerimanya, namun Ia tetap menjalankanNya dengan menanggung segala resiko yang akan terjadi. Dalam diriNya, Jesus mau menunjukkan bahwa kerahiman Allah, atau Allah yang maha pengampun itu telah menjadi nampak. Allah yang bertindak sebagai Bapa penuh kasih kepada kaum pendosa bukanlah sekedar perumpaan atau cerita, semua itu telah nyata di dalam diriNya. Resiko kerahiman Allah sang pengampun itu menjadi nyata ketika Jesus tergantung di kayu salib. Namun justru lewat pengorbanannya, menderita, wafat itulah pengampunan dosa manusia menjadi sempurna.
Bagaimana kuasa Jesus mengampuni dosa itu sampai kepada para imam atau lebih tepat diteruskan oleh terutama Gereja Katolik? Kita yang menyakini tahu, bahwa hidup Jesus di dunia ini hanya 33 tahun, dan kiranya kurang dari tiga tahun ia berkarya ditengah-tengah manusia. Dan setelah itu ia meninggalkan murid-muridNya. Namun Ia menghendaki supaya segala pekerjaanNya itu diteruskan. Maka kepada Petrus dan dua belas muridNya yang lain Ia memberi kuasa itu. Bahkan ketika Jesus masih hidup bersama mereka janji itu sudah diucapkan oleh Jesus, bukan hanya satu atau dua kali tetapi berkali-kalai. Dua kisah Injil akan saya kutip sebagai bukti. Dalam Mateus 16: 13-20, ketika itu Jesus ingin mengetahui, sejauh mana kedua belas murid yang telah mengikuti Dia kemanapun pergi ini mengenalNya. Maka Jesus bertanya: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini" Petrus menjawab: "Engkau adalah Messiah, Anak Allah yang hidup". Kemudian Jesus bersabda kepada Petrus: "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat/gereja-Ku dan alam tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia akan terikat di surga dan apa yang dilepaskan di dunia ini akan terlepas di Surga"
Dalam Mateus 18:15-20, dalam kontek tentang menasehati sesama yang telah berbuat dosa, Jesus juga bersabda kepada muridNya: "Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kamu lepas di dunia ini akan terlepas di surga". Pada waktu Jesus masih hidup bersama dengan para murid, semua ini masih merupakan janji, karena kuasa mengampuni dosa itu ada dalam diri Jesus. Ternyata Jesus tidak main-main dalam hal yang peka ini, karena ternyata janji ini dipenuhi oleh Jesus.
Saya merasa yakin, para murid tidak ingat lagi akan semua ini, terutama ketika sang Guru mati dengan cara yang keji. Semua harapan yang ditumpukan kepada Dia hilang musnah. Maka tidak mengherankan para murid yang mengandalkan Jesus, itu menjadi berantakan ketika sang Guru tidak ada ditengah-tengah mereka lagi. Setelah Jesus bangkit mereka menjadi hidup lagi, semangat dan harapannya muncul lagi. Dan saat itu pula Jesus mengingatkan lagi apa yang pernah Dia janjikan ketika mereka masih hidup bersama. Setelah kebangikitan janji ini dipenuhi. Ketika Jesus menampakkan kepada kepada mereka di dalam ruang tertutup, Jesus bersabda: "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Dan sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada" (Yoh 20:21-22)
Inilah dasar Biblis yang bagi Gereja Katolik menjadi dasar keyakinan. Dalam sahadat kita menyakini bahwa Gereja kita ini adalah gereja Apostolik, artinya bahwa gereja kita ini adalah merupakan kelanjutan gereja para rasul itu, bahwa kita mewarisi tradisi rasuli itu. Dan berarti apa yang dulu telah dikuasakan kepada para Rasul, sekarang ini tetap dilanjutkan oleh Gereja. Dan bagi mereka yang percaya, paus, uskup dan imam adalah mereka-mereka yang dipanggil untuk menjaga, menjamin dan meneruskan kebenaran ajaran Jesus dalam tradisi rasul ini. Dengan demikian kuasa mengampuni dosa ini juga dimiliki oleh mereka yang setia pada Jesus dan meneruskan ajaranNya. Maka Gereja Katolik menyakini bahwa dalam Sakrament Tobat ini kita yang mengakui kesalahan dan dosa, kembali berbalik kepada Allah diberi pengampunan dan kita didamaikan dengan Allah dan sekaligus dengan Gereja melalui seorang imam. Harus dicatat dan diingat, bahwa dalam hal ini IMAM tidak mengampuni dosa atas nama dirinya sendiri, yang mengampuni tetap Allah, imam hanya bertindak atas nama Allah dan juga atas nama Gereja. Imam hanyalah semacam 'telinga Allah, untuk mendengarkan pengakuan dosa umatnya. Imam menjadi tanda dan sarana yang kelihatan, dimana orang menjadi lebih yakin bahwa ada tanda langsung yang kelihatan bahwa dia telah berdamai dengan Allah. Dan juga ada rumusan kongkrit yang mereka dengar bahwa Allah telah mengampuni segala dosanya lewat suara mulut dari imamnya itu. Maka percaya atau tidak rahasia pengakuan adalah rahasia yang bila perlu tetap dijaga sampai mati. Untuk memperoleh wewenang mendengarkan pengakuan dosa ini tidak gampang lo.... kuliah satu semester penuh, dan diuji oleh tiga dosan dalam waktu lebih dari satu jam. Dan kalau tiga kali kesempatan yang diberikan mahasiswa tidak lulus dari ujian Ad Audindas ini, maka ada kemungkinan bahwa mereka tidak bisa ditahbiskan menjadi imam. Ini sekedar informasi betapa hal adalah hal yang penting dan berat.
Kiranya cukup sekian, sekali bagi mereka yang percaya semoga hal ini sedikit menambah pengatahuan anda, dan akhirnya memberi keyakinan yang lebih mantap bagi anda yang selama ini merasa ragu dan tidak percaya lagi.
salam dan doa
MoTe

‘ALLAH MAHA PENGAMPUN’ [1]

1. Allah maha pengampun:
Waktu saya masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, ada suatu selebaran yang secara positif sekali menilai bahwa kekuatan agama katolik itu terletak pada keyakinan agama itu bahwa mereka mempunyai (a) pemimpinnya yang tidak menikah, (b) mempunyai figur seorang ibu (Maria) dalam penghayatan iman, (c) kayikinan pada perkiwanan yang monogami dan tak terceraikan dan (d) 'sakrament tobat' atau 'pengakuan dosa'. Dalam kaitan dengan pengakuan dosa alasan yang dikemukankan adalah bahwa kita ini manusia lemah yang mudah jatuh dalam godaan dan seringkali berdosa. Dan banyak orang yang tidak tenang hidupnya karena merasa tertanggu rasa berdosa dan bersalah. Kalau hanya bersalah kepada manusia kita akan mudah melupakan itu asal kita minta maaf dan mengakui kesalahan kita. Tetapi kalau orang merasa bersalah kepada Tuhan, kesalahan dan dosa itu tidak akan mudah begitu saja dilupakan, bahkan bisa mempengaruhi seluruh hidupnya, akibatnya hidup menjadi tidak tenang. Namun dalam gereja katolik ada sarana kasad mata, yang secara langsung bisa dialami dan dilakukan oleh mereka yang mengimani bahwa Tuhan telah mengampuni segala dosanya, yaitu lewat sakramen tobat. Di situlah orang merasakan bahwa mereka telah berdamai- berrekonsiliasi dengan Tuhan, bila ia datang kepada imam dan mengakui segala kesalahan dan dosa-dosanya.
Namun pada kenyataannya untuk mengakui kebenaran dari praktek ini tidaklah mudah dan gampang, bahkan orang yang sama-sama meyakini Jesus sebagai Tuhan pun tidak bisa menerima praktek gereja katolik ini. Apalagi mereka yang tidak mengakui Kristus, praktek ini dianggap sebagai 'omong kosong dan kesia-siaan belaka'
Mengapa gereja katolik masih tetap berpegang pada iman ini, adakah dasar Biblisnya, bukankan mengaku dosa langsung kepada Tuhan malah lebih mantap dari pada kepada manusia berdosa. Bukankah semua ini adalah hak Tuhan, bagaimana manusia berdosa bisa campur tangan dalam hak Tuhan? Itulah sederetan pertanyaan yang seringkali diajukan oleh mereka yang tidak mempercayainya, bahkan bisa ditambah lebih banyak lagi.
Saya ingin sedikit membagikan pengetahuan saya, terutama kepada mereka yang percaya, supaya keyakinan indah ini tidak luntur oleh berbagai macam situasi dan keberatan banyak orang dijaman modern yang sudah tidak peka akan dosanya lagi ini.
Semua agama di dunia ini meyakini bahwa Tuhan itu maha pengampun, Ia selalu rela mengampuni setiap orang yang berdosa tidaklah perlu disangsikan. Dalam Injil Lukas 15:11-32, dalam kisah perumpaan tentang anak yang hilang, Allah/Tuhan yang maha pengampuni ini dilukiskan oleh Jesus sebagai seorang Bapa yang penuh kasih dan pengampun menantikan anaknya yang pergi meninggalkan kebahagiaan keluarga. Bagi mereka yang tidak tahu cerita dari kisah ini, perkenankan saya sedikit menceritakan kisahnya.
Adalah seorang bapa yang mempunyai dua anak laki-laki, si sulung dan si bungsu. Pada suatu hari si bungsu yang sudah merasa diri menjadi orang diwasa, ingin mandiri, dia ingin menikmati kebebasan dan kedewasaan dirinya untuk hidup di luar lingkungan kasih bapaknya. Maka ia mengatakan kepada bapaknya: Bapa, berikankanlah kepadaku bagian warisan yang menjadi hakku. Si bungsu yang lagi gedhe itu pergi meninggalkan rumah orang tuanya dengan membawa segala kekayaan yang menjadi warisannya dengan mangadu untung di negeri orang. Namun pengalaman pahit dialaminya, ia jatuh menjadi miskin dan akhirnya kelaparan. Ia merasa hina dan malu, mau kembali ke bapanya tidak mempunyai keberanian. Dia masih bertekad untuk memperbaiki hidupnya. Ia tetap berjuang untuk mempertahankan hidupnya, yang akhirnya membawa dia terdampar dikandang babi. Oleh tuannya ia diberi pekerjaan untuk menggembala dan memberi makan kepada babi-babi, dan dari makanan babi itulah dia mengisi perutnya. Dalam kondisi dan situasi kesengsaraan dan penuh penderitaan inilah ia menjadi sadar, ia teringat akan bapak dan orang-orang upahan yang hidup enak dan berkelimpahan di rumah bapaknya."Aku akan bangkit dan pergi kepada bapakku". Singkat cerita, kesadaran bahwa di rumah bapaknya banyak makanan dan bisa hidup berkelimpahan mendorong si bungsu itu pulang. Ia melupakan segala kesalahan dan dosa-dosanya, ia tidak perlu merasa malu mengemis belas kasih didepan bapaknya, semuanya itu dilakukan dengan penuh sesal dan tobat, lebih baik hina dihadapan bapaknya dari pada binasa karena menderita kelaparan. Walaupun ia tetap anak bapaknya, namun karena segala dosa dan kesalahannya, ia rela membuang hak anak itu dan menjadikan dirinya salah satu dari orang upahan bapaknya.
Dan apa yang dibuat bapak. Ia tahu betul siapa sibungsu dengan segala sifat dan kepribadiaannya. Ia tahu bahwa dia tidak akan bahagia hidup diluar lingkungan keluarganya. Keyakinan itulah yang membuat bapak itu setiap hari lari ke jalan dan menunggu kedatangan si bungsu. Maka ketika ia melihat sibungsu dari jauh datang, ia langsung menyambutnya, merangkul dan menciumnya. Si bapak tetap menerima ia sebagai anaknya dan tetap mengasihi dan mencintainya. Ia melupakan segalam dosa dan masa lalu anaknya. Kembali ke padanya sudah merupakan peristiwa yang luar biasa. Maka karena ia kembali dengan selamat, tepatlah kalau dirayakan dengan pesta besar. Bapak berkata: "Anakku ini tadinya mati, namun ia hidup kembali. Tadinya hilang, namun ia ditemukan kembali.
Anak hilang (sibungsu) adalah gambaran setiap manusia, yang tergoda untuk menggunakan kebebasannya untuk melepaskan diri dari kasih Allahnya. Dan Jesus menyatakan bahwa sang bapak adalah gambaran Allah yang oleh Jesus disebut bapak. Allah yang Jesus ingin ajarkan dan perkenalkan adalah Allah Bapa yang maha pengampun. Ia tidak pernah memperhitungkan kesalahan dan dosa manusia, namun sebaliknya dengan penuh kasih ia selalu menunggu, menanti dan menanti anaknya yang berdosa dan yang melepaskan ikatan kasih denganNya itu kembali, pulang kepadaNya. Dan inilah Allah yang diperkenalkan Jesus, ia tidak menghakimi, menghukum karena anakNya telah berbuat dosa, malah ia menyambutnya dengan mengadakan pesta. Jesus juga menggambarkan kembalinya si manusia kepada Allah, atau pertobatan ini dalam perupamaan lain, misalnya domba yang hilang, dirham yang diketemukan kembali. Hal ini mau mengatakan bahwa pertobatan, penyesalan dan kembalinya orang berdosa dihadapan Allah itu sungguh sangat berarti bagi Allah. Karena Allah sungguh mencintai kita, dan tahu bahwa lepas dari Allah, manusia pasti binasa. Dan keinginan Allah hanya satu, supaya manusia itu selamat, dan Tuhan mengetahui betul bagaimana keselamatan itu diperolehnya.
Jadi tepatlah iman semua agama di dunia ini yang mengakui dan menyakini, bahwa Allah kita yang esa itu adalah Allah yang maharahim dan pengampun. Dan penting untuk dicatat, bahwa kita dapat berdamai (reconcile) dengan Allah karena dosa bukanlah karena usaha dan jasa-jasa kita. Pengampunan hanyalah melulu karena rahmat. Allah punya alasan untuk menghukum dan menolak anaknya yang telah berdosa dan menghabiskan harta warisannya itu, namun semua itu tidak dilakukan karena Allah mencintai manusia. Jadi pengampunan adalah rahmat dan anugergah dari Allah kita di surga.
Salam dan doa
MoTe

API PENCUCIAN

Mencoba menjawab, walaupun saya tidak yakin bahwa jawaban saya ini akan mampu memberi penjelasan mengenai 'peramasalahan' disekitar api pencucian atau furgatory. Karena dalam Gereja doktrin ini ditempatkan pada bidang iman dan misteri. Artinya sesuatu yang 'tidak bisa dijelaskan secara tuntas hanya berdasarkan dan melandaskan pada kemampuan akal budi. Kita pun juga tidak akan mampu untuk membuktikan secara tuntas kebenaran dari doktrin ini hanya berdasarkan pola pikir, karena masalah ini sungguh merupakan masalah 'keselamatan dan kerahiman Allah". Pertanyaan 'why dan how' inilah bidang yang mesteri. Gereja hanya ingin mengajarkan bahwa ada 'keadilan, penghakiman dan kerahiman' berdasarkan pada kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia. Dan manusia harus mempertanggung-jawabkan itu dihadapan Allah.
Doktrin ini pertama-tama diumumkan pada Konsili Lion II (1274), dan oleh Paus Benedictus XII dalam dekrit "Benedictur Deus (1336) kemudian pada konsili Florence (1439) ditegaskan kembali pada konsili Trento (1563) untuk menjawab pihak reformationist yang menolak doktrin ini. Kemudian juga disebutkan kembali dalam Konsili Vatikan II (1965) dalam Konstitusi Dogmatik Gereja; Lumen Gentium art. 49-50). Bila dikatakan bahwa doktrin ini tidak mempunyai dasar Biblis yang tegas dan jelas, memang benar. Namun tidak benar bila dikatakan doktrin ini tidak mempunyai dasar dalam Kitab Suci. Ada bukti alkitabiah yang membenarkan doktrin ini. Sebenarnya doktrin ini lebih didasarkan pada doa permohonan komunitas Kristiani yang dipersembahkan bagi "mereka yang telah meninggal sebelum kita" (bdk Kitab 2 Makabe 12:38-46 juga sering pula ditambahkan dari I Korintus 3:12-15, dan Mat 12:32)
Untuk memahami secara lebih tepat problem 'api penyucian' pertama-tama kita harus mengerti difinisi yang diberikan oleh Gereja. Dikatakan bahwa api penyucian adalah status penyucian manusia diantara kematian dan surga, sebagai suatu saat untuk membersihkan segala noda dosa pribadi yang masih melekat menuju pada kepenuhan kebahagiaan abadi dalam persatuan dengan Tuhan. Gereja Katolik meyakini hal ini terjadi, bahwa seseorang harus dibersihkan, disucikan dan diilahikan sebelum mereka bersatu penuh dengan Allah. Mereka harus lebih dahulu 'dibenarkan dan didamaikan dalam Kristus. Halangan atau sering disebut noda dosa pribadi ini adalah segala dosa-dosa yang tidak sempat diampuni disaat menjelang kematian, tetapi juga dosa-dosa semasa hidupnya yang belum terampuni. Gereja meyakini bahwa 'jiwa yang telah suci' akan langsung masuk surga. Dalam api penyucian tidak ada kesempatan untuk memohon pertobatan, kesempatan bertobat hanya dialami ketika manusia masih di dunia. Namun ini adalah saat penyucian dan pembersihan dari segala noda dosa sehingga secara pribadi manusia dibenarkan dihadapan Allah untuk bersatu dalam kebahagian bersama Allah dan kesatuan dengan para kudus lainnya. Jadi "forgatory is best understood as a process by which we are purged of our residual selfishness so that we can really become one with God who is totally oriented to others, i.e. the self-giving God".
Doktrin tentang api penyucian menjadi masalah dalam Gereja karena adanya penolakan dari kelompok reformasi, terutama Martin Luther, Melanchthon, Calvin dan Zwingly. Semua ini terjadi karena adanya perbedaan konsep dan teologi tentang keselamatan, dalam mana kaum reformasi mengakui keselamatan hanya melulu karena "rahmat Allah'. Tidak ada campur tangan manusia. Sementara Gereja Katolik selain mengakui apa yang diakui oleh para reformasionist, sola fides, sola gratia, sola scriptura, tetapi masih ditambah lagi satu yakni "perbuatan baik" (bdk Matt 25 31-46). Bahwa manusia ikut terlibat dalam keselamatan pribadinya. Iman harus ada tanggapan, rahmat harus ada kerjasama, bila semua akan membuahkan hasil. Manusia diberi karunia sebagai 'citra' Allah jutstu karena kebebasan yang diberikan oleh Allah. Sementara keselamatan adalah tawaran dari Allah, manusia dari dirinya sendiri berhak menentukan dirinyai, apakah dia menerima atau menolak. Dalam masalah api penyucian, konsili menjawab bahwa penyucian dan pembebasan dari noda dosa itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang masih hidup, yakni melalui doa-doa permohonan bagi mereka yang telah meninggal dan terutama lewat intensi dalam Ekaristi Kudus.
Adalah sikap 'arogan bila' kita ingin membuktikan bahwa 'doktrin ini adalah salah' bahwa suatu saat kebenaran akan terbuka. Debat mengenai iman tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Tetapi dialog iman adalah cara yang terbaik untuk membantu kita memahami iman sesama kita. Perbedaan selalu ada, dan justru dengan menghargai perbedaan itu kita menjadi semakin dewasa dan berkembang. Kita tidak pernah bisa mengklaim bahwa kitalah yang paling benar. Banyak kebenaran lain yang tidak bisa kita pahami secara tuntas. Adalah bijak bila kadang kala kita harus mengatakan apa yang St. Anselmus katakan "Qui crediderit, non inteleget" (what they do not believe, they do not understand).
Bagi kita manusia, justru doktrin ini menjadi tanda kerahiman Allah yang luar biasa, karena Allah masih memberi kesempatan kepada manusia untuk bisa menikmati kebahagiaan abadi walaupun ada 'penghalangan' yang harus dibersihkan. Lalu kita bisa bicara lebih lanjut moralitas iman dan spiritualitas dari topik ini.
salam dan doa
MoTe

“MENGHADAPI SAAT KRISIS DALAM HIDUP”

Hidup adalah suatu keputusan. Dan sesungguhnya hidup pun merupakan suatu proses terus menerus dari tindakan untuk memilih dan memutuskan. Keberhasilan dalam hidup tergantung pada benarnya suatu keputusan yang kita ambil dan tepatnya suatu pilihan yang kita buat.
Karena hidup ini merupakan suatu proses yang mengandaikan adanya dinamika di dalamnya, maka hal ini tidak luput dari irama yang terjadi. Bahwa irama hidup mengalami ‘up and down’ atau penuh semangat dan krisis. Dalam artikel pendek ini saya ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan krisis dalam hidup mungkin juga dalam hidup rohani. Pertama-tama kami ingin melihat secara singkat arti krisis dan ciri-ciri krisis, dimensi dari krisis dan sarana apa yang dibutuhkan untuk menyelamatkan diri dari situasi krisis ini.

Arti Krisis
Kata ‘krisis’ berasal dari kata Yunani “Krino” yang berarti mengambil satu dari dua kemungkinan yang ada. Hal ini mengandaikan adanya situasi yang tidak menentu dan sulit. Situasi yang tak menentu dan sulit ini membuat struktur pokok kehidupan bersama dan individual menjadi terganggu.
Krisis bisa muncul dari kita yang mengalami kondisi yang menegangkan untuk beberapa hari, bulan, bahkan tahun yang akhirnya membawa kita sampai pada titik puncak kelelahan. Kita tidak mampu mengatasi situasi itu lagi.
Krisis bisa muncul ketika terjadi perubahan tragis yang tidak diharapkan. Kematian orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan yang menguras seluruh emosi pribadi bisa menjadi sebab krisis dalam hidup.
Krisis timbul oleh karena pribadi orang itu sendiri yang hidup dalam suatu aktivitas terus menerus, tanpa suatu refleksi yang dalam. Kita mengalami kekosongan makna dan kekeringan semangat. Hidup menjadi seperti aliran sungai tanpa makna.
Secara singkat bisa dikatakan bahwa krisis bisa timbul oleh karena adanya pertentangan nilai dan pengaruh antara situasi internal maupun ekternal.

Dimensi Krisis
Ada lima dimensi krisis yang dialami oleh setiap orang;
Pertama, bahwa saat krisis merupakan episode dari perjalanan kehidupan pribadi, keluarga, komunitas atau bangsa. Hal terjadi oleh karena kejadian yang mengejutkan yang muncul dari luar diri orang itu. Bisa juga terjadi karena diikat oleh adanya tekanan batin. Mungkin karena adanya bencana atau rangkaian kesengsaraan dan derita yang menimbulkan goncangan jiwa.
Kedua adalah adanya keseimbangan kebutuhan dasar manusia yang terganggu dan merembes pada kepekaan individu manusia. Kita berusaha untuk mengembalikan keseimbangan itu, namun usaha ini tidak pernah berhasil. Maka kegelisahan timbul. Berbagai usaha dan cara dijalankan untuk memulihkan keadaan, namun tidak pernah tercapai.
Ketiga, bila dalam situasi itu tidak ditemukan jalan keluar, maka ketegangan akan mencapai puncaknya. Hal ini akan menimbulkan krisis. Kita akan kehilangan keseimbangan dan akan mengalami kekacauan dalam hidup. Inilah yang disebut kondisi krisis yang aktif.
Keempat, kejadian bisa dimengerti dan disadari oleh kita sebagai: a). ancaman terhadap kebutuhan dasar dan kebebasan, b). kehilangan identitas pribadi dan kemampuan. c). atau sebagai tantangan untuk berjuang, berkembang atau menjadi diri sendiri.
Pemahaman ini menimbulkan beberapa ciri reaksi emosional. Dan makna dari semua ini bagi masing-masing pribadi akan terungkap dalam cara yang berbeda. Bila kondisi atau kejadian ini dipandang sebagai ‘ancaman’ maka kegelisahan akan berkembang. Bila dipandang sebagai ‘yang hilang’, maka kita akan mengalami dipresi, putus asa dan kesedihan yang berlarut-larut. Bila ini dianggap sebagai suatu ‘tantangan’, maka dalam kegelisahannya orang akan mengalami perkembangan dalam harapan dan penantian.
Kelima, saat krisis bukanlah kondisi sakit, melainkan suatu perjuangan nyata yang dialami oleh setiap pribadi dalam situasi hidupnya. Maka krisis adalah suatu tanda menuju pada kedewasaan pribadi dan rohani. Saat krisis itu dialami dan terjadi dalam setiap tahap perkembangan hidup manusia menjadi semakin holistik. Yang menjadi masalah adalah bagaimana manusia menemukan kekuatan untuk bertahan dan menemukan jalan keluar dari saat krisisnya itu.

Cara dan Sarana dalam menghadapi Krisis
Menurut para ahli spiritualitas ada tiga faktor yang bisa membantu seseorang menyelamatkan dirinya dari krisis. Ketiga faktor itu adalah doa, iman dan harapan.

a. Doa
Doa mengungkapkan kegembiraan dan kesedihan kita dihadapan Allah dan dengan sabar menunggu ditumpuan kakiNya atas kasih dan kemurahanNya. Doa adalah saat dimana kita memohon kepada Allah Bapa di Surga, Tuhan atas kebijaksaan dan pengetahuan untuk memberkati kita dengan karunia Roh KudusNya. Doa adalah saat dimana kita memohon pertolonganNya untuk mampu membedakan dan melihat mana yang baik, pantas dan sempurna.
Bila kita yakin, doa sungguh mempunyai daya yang luar biasa. Maka doa pada saat krisis membantu kita untuk tetap sehat secara jasmani dan mampu menerima kehendakNya secara rohani. Semakin kita mempunyai banyak waktu berdoa, kita akan semakin ‘merasa kehadiran Tuhan yang begitu dekat’. Dalam doa kita akan semakin menganal siapa kita, oleh karenanya doa akan semakin membantu kita menyadari diri kita sebagai ‘citra Allah’ dan mengajar kita bagaimana kita harus berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan.
Akhirnya doa adalah sarana yang paling efisien dalam menghadapi krisis. Karena dengan doa kita mampu berkontak dengan dunia rahmat. Jesus bersabda: “ Apapun yang kamu minta dalam doa, percayalah bahwa kamu akan menerimanya, dan semua akan menjadi milikmu” (Mark 11:24)

b. Iman
Apa yang kita butuhkan dalam waktu krisis adalah ‘mata iman’. Iman yang menyertai dan berjalan dalam perjuangan hidup manusia. Iman akan Allah yang terus mencipta dalam karya keselamatan. Ketika kita membiarkan Allah masuk dalam kehidupan kita, semua yang kita alami diubah dalam daya penyelamatan.
Lalu apa itu iman dalam saat krisis? Menurut Surat kepada umat Hibrani 11:30 iman adalah “kepenuhan segala yang diharapkan dan keyakinan dari segala yang tidak kelihatan’. St. Agustinus mengatakan bahwa “iman adalah percaya akan apa yang tidak kita lihat; dan hasil dari iman ini adalah melihat apa yang kita percaya’.
Iman mempunyai efek atau dampak yang begitu besar dalam perjuangan hidup seseorang. Hanya melalui imanlah Bunda Maria mampu menerima dan menjadi Ibu Tuhan. Hanya melalui imanlah orang sakit dan berdosa menikmati kegembiraan dari belas kasih Jesus. Hanya melalui imanlah para orang kudus mengatasi segala cobaan dan derita dan panasnya panah yang merajam tubuhnya dari kita yang menyiksanya.

c. Harapan
Harapan adalah percaya akan kemungkinan yang ada dalam situasi yang tidak mudah diperoleh dan diraih. Adanya pengharapan membawa kegembiraan bagi kita yang mengalami krisis. Harapan membantu kita untuk tetap yakin dalam segala hal bahwa Tuhan telah berjanji dan tidak pernah mengingkari janjiNya. Harapan membantu kita untuk melihat jauh melampau batas kematian kita dan membuat kita mampu melihat dunia kebangkitan.
Harapan membuat kita mempunyai masa depan dan berusaha untuk meraihnya. Harapan membuat manusia menjadi hidup dan tidak putus asa dan mati. Maka menimbulkan harapan pada saat krisis merupakan salah satu usaha menyelamatkan diri kita dari kehancuran.

Penutup
Dalam saat krisis, biasanya kita akan mengalami rasa ketakutan dan berusaha melarikan diri dari kenyataan. Hubungan dengan Tuhan menjadi terputus, bahkan banyak orang yang menjadi tidak mampu percaya kepada Allah. Kita menolak segala assumsi bahwa ada kebaikan akan terjadi dibalik krisis yang dialami. Bahkan lebih lagi orang akan mengalami keputuasaan kareha kehilangan harapan. Kita menyerah untuk melihat terang dibalik kegelapan yang sedang terjadi.
Oleh karena itu, menubuhkan doa, iman dan harapan menjadi unsur pokok dalam menghadapi krisis. Selain itu kita tidak bisa berbuat banyak menghadap situasi itu selain menerima situasi itu dengan tetap bertahan dalam semangat.
Pertanyaan refleksi, apa yang Tuhan kehendak dan ajarkan kepada saya dalam saat krisis ini akan membuat kita semakin menyadari bahwa krisis yang sedang kita alami menjadi sarana membangun diri dan bukan menghancurkan.
Akhirnya kita harus bertindak mengatasi situasi ini. Hanya kita tidak tahu dari mana dan bagaimana kita harus bertindak, oleh karenaitu kita membutuhkan bantuan Roh Kudus.


Teja Anthara scj
(disadur dari: An Introduction to Christian Spirituality: “Spirituality at the time of Crisis” by Fr. F. Antonisamy).

ANUGERAH ROH KUDUS

Saya juga merasa prihatin dengan berbagai macam manipulasi yang dibuat banyak orang berhubungan dengan anugerah Roh Kudus. Dengan mudah sekali kita mengatasnamakan suatu tidakan kita berdasarkan bisikan Roh Kudus yang saya terima dalam doa saya. Singkat saja, dari pengalaman retret itu saya menjadi sangat hati-hati dan tidak begitu mudah mengatakan bahwa ini adalah bisikan roh kudus atau apa istilahnya. Bahkan saya merasa semakin tidak pantas untuk menjadi tempat kehadirannya karena dosa dan tidakkan saya mungkin tidak menyenangkan Allah.
Dalam artikle ini saya akan sedikit menyampaikan apa yang dalam buku persiapkan untuk calon Baptis diterangkan mengenai Roh Kudus ini, dan tentunya saja hal ini tidak dimaksudkan memberi penjelasan rinci dan jelas. Tetapi minimal kita dibantu untuk memahami secara tepat akan pengaruh dari anugerah roh Kudus ini.

a. Pentakosta.
Setelah Jesus diangkat ke surga, pulang ke rumah Bapa, murid-muridNya tidak ditinggalkan sendiria seperti anak yatim piatu, tanpa teman dan pertolongan. Mereka diminta untuk tinggal di Jerusalem, sambil menunggu kedatangan Sang Penolong, Sang Penghibur (Paraclete) yang telah dijanjikan oleh Jesus; "Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu, yaitu Roh Kebenaran (Yoh 14:16-17) Selanjutnya Jesus bersabda; "Aku akan mengirim kepadamu Apa yang dijanjikan BapaKu. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi (Luk 24:29)
Janji Jesus itu dipenuhi setelah sembilan hari lamanya para rasul beserta Maria, ibu Jesus menunggu sambil berdoa dengan rukun dan tekun (see Acts 1:12-14). Hari kedatangan Roh Kudus itu dinamakan Pentekosta, artinya hari yang ke lima puluh. Memang hari itu adalah hari yang kelima puluh dihitung dari saat kebangkitan Jesus.
Turunnya Roh Kudus oleh Lukas dilukiskan seperti bunyi tiupan angin keras dan seperti lidah-lidah api yang bertebaran dan menghinggapi para murid. Roh Kudus itu memenuhi dan memancar dari mereka. Itulah saat mereka dibaptis dengan Roh Kudus, yang memberi keberanian dan kekuatan baru kepada para rasul, sehingga dengan segera mereka memberikan kesaksian tentang Jesus Kristus yang dibunuh di salib dan dibangkitan dari mati itu (Kis 2:1-13)

b. Anugerah Roh Kudus.
Oleh karena Roh Kudus itu para rasul berbicar dengan pelbagai bahasa. Mereka juga bernubuat dan menyembuhkan orang. Itulah yang seringkali disebut anugerah-anugerah Roh Kudus yang "luar biasa" (1Kor 12:4-11)
Roh Kudus juga memberikan anugerah-anugerah yang 'biasa' kepada para rasul. Anugerah-anugerah yang biasa itulahh yang paling penting dan sampai sekarang masih diberikan kepada kita: Contoh dari anugerah Roh Kudus yang masih dikaruniakan kepada kita seperti dikatakan oleh Paulus:h "Buah-buah roh adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri" (Gal 5:22-23) Karena anagerah ini terus dikaruniakan kepada kita, maka Paulus menganjutkan supaya kita tetap menghidupkan semangat Roh Kudus itu menjadi semangat hidup kita; "Jangan padamkan Roh" (1Tes 5:19) Tetapi 'Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-kkarunia Roh" (1Kor 14:1) Paulus mengharapkan karena tidak mudah membedakan antara pakah itu pengaruh roh jahat dan roh Kudus yang merasukki hidup kita maka ia menegaskan dan menasehati supaya kita bertindak lebih waspada dan kritis terhadapnya "Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik" (1Tes 5:21).
Dari pernyataan diatas ini sebenarnya kita bisa dibantu untuk menilai berbagai macam gerakan Roh yang terjadi dalam diri dan sekitar kita selama ini. Karena roh memang tidak kelihatan, maka dengan mudah sekali orang akan mengatakan dan bernubuat atas nama roh itu. Maka saya setuju dengan mas Noordin yang mengatakan hati-hatilah dengan kuasa Roh ini, jangan merendahkan dan dengan mudah menggunakan namanya tanpa hormat dan hikmat. Dan serba tidak ada kepastian yang pasti, yang paling dapat kita lihat bahwa roh sedang bekerja itu roh jahat atau roh Kudus adalah buah-buahnya. Ini bahaya yang paling besar dialami oleh kita yang kurang waspada terhadap pengaruh dan buahnya karena dengan mudah sekali orang akan jatuh dalam kesombongan rohani, merasa dirinya dikuasai oleh Roh Kudus dan menerima anugerah khusus ini. Jangan mudah ditipu oleh Iblis, dia pun juga Roh yang lebih tahu dari manusia. Ingat!! siapa yang lebih dahulu mengenal Jesus sebagai Messiah, bukan para murid tetapi iblis, bahkan dengan lihai sekali dan hafal mengutip alkitab untuk menggodai Jesus. Maka Paulus menegaskan "ujilah itu". St. Iganatius mengajar banyak sekali dalam hal ini, dan untuk bisa 'membedakan roh' dituntut latihan rohani yang ketat dan berat, tidak hanya semalam berdoa lalu mendapat pencerahan Roh, tetapi menuntut berbagai macam kesadaran dan kepekaan.

c.Anugerah yang paling besar.
Bila ada orang yang sungguh menerima anugerah roh "yang luar biasa" berbahagialah orang itu, walaupun tetap harus waspada, karena itu sungguh karunia khusus, saya juga tidak tahu dengan anugerah khusus yang 'dijual' itu. Namun bagi Paulus, semua itu tidaklah penting untuk jaman kita sekarang, kita tidak sangat mendesak membutuhkan karunia 'luar biasa' itu. Kemajuan jaman dan pola pikir manusia, yang adalah bagian dari rencana keselamatan Allah, telah memampukan manusia untuk mengatasi masalah yang dulu hanya bisa diatasi oleh kuasa rahmat 'luar biasa' itu. Paulus menekankan mana anugerah yang harus mendapat perhatian khusus, yang harus dikejar dan dipegang diantara jemaat atau umat beriman ini. Paulus menyatakan yang paling penting kita perlukan sekarang ini adalah anugerah "kasih". Dalam "Madah Cinta kasih" dikatakan:

Kasih itu sabar;
kasih itu murah hati,
ia tidak cemburu.
Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
Ia tidak melakukan yang tidak sopan
dan tidak mencari keuntungan diri sendiri
Ia tidak pemarah
dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Ia tidak bersuka-cita karena ketidakadilan,
tetapi karena kebenaran.
Ia menutupi segala sesuatu,
percaya segala sesuatu,
mengharapan sesuatu,
sabar menanggung segala sesuatu.

Kasih itu tidak berkesudahan;
nubuat akan berakhir;
bahasa roh akan berhenti;
Sebab pengetahuan kita tidak lengkap
dan nubuat kita tidak sempurna.
Tetapi jika yang sempurna tiba,
maka yang tidak sempurna akan lenyap.
Ketika aku kanak-kanak,
aku berkata seperti kanak-kanak,
aku merasa seperti kanak-kanak,
Sekarang sesudah aku menjadi dewasa,
aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.
Karena sekarang kita melihat dalam cermin
suatu gambaran yang samar-samar,
tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka.
Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna,
seperti aku sendiri dikenal
Demikianlah tinggal ketiga hal ini,
yaitu iman, pengharapan dan kasih,
dan paling besar di antaranya adalah kasih (1Kor 13:4-13)

Saya sengaja mengutip seluruh isi dari surat Paulus ini, karena ada yang menarik untuk kita perhatian. Kalau selama ini ada rekan netter yang berkesimpulan bahwa pertanyaan yang diajukan dalam treat "tanya" itu childish dan masih banyak lagi istilah yang digunakan, sebenarnya bukan tanpa alasan. Lihat apa yang dikatakan oleh Paulus, kalau kita hanya berpikir hal-hal yang nampak mengagumkan dan yang memuaskan emosi kita, sepertinya kita juga masih berpikir seperti kanak-kanak itu. Kedewasaan iman kristiani bagi Paulus, kalau orang sudah sampai pada taraf bahwa kasih menjadi dasar seluruh hidupnya, dan kasih itu sendir adalah 'anugerah roh kudus yang paling besar'. Maka kita bisa lebih mengerti mengapa Jesus sampai mengatakan bahwa "tiada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya' Kita tahu apa orang itu, hanyalah Jesus sendiri, maka dia adalah the compassion of God. Dan dari situ kita bisa menarik kesimpulan bahwa Roh Kudus itu tidak lain adalah Roh Jesus sendiri, yang menjadi penolong kita untuk memahami Dia lebih jelas dan terang. Dialah Roh Penolong yang datang untuk menggantikan kehadiran Jesus yang tidak kasad mata lagi. Dengan kehadiran roh Kudus inilah kita sekarang ini menjadi lebih akrab dengan Jesus, karena kita semakin memahami dan mengertai apa yang telah Dia ajarkan dulu dan juga yang akan datang. Membantu kita untuk lebih mengasihiNya.
Salam dan doa
MoTe

“MENGHADAPI PENCOBAAN”

Beberapa waktu dalam polemik di internet ada beberapa teman yang mengajukan masalah mengenai 'pencobaan' atau 'temptation'. Dalam atikel pendek ini saya ingin mencoba untuk mengulas sedikit mengenai pencobaan, dari mana datangnya pencobaan, bagi mana fase perkembangannya dan bagaimana kita menghadapi pencobaan dan mengatasinya. Semoga tulisan ini berguna bagi teman-teman sekalin untuk semakin berkembang dalam kehidupan rohaninya. Semakin menjadi orang Kristern yang tangguh, tanggap serta tabah dalam menghadapi segala tantangan pencobaan. Dan terlebih supaya kita tetap setia menjadi murid Kristus yang sejati.

1. Arti Pencobaan.
Pencobaan adalah suatu kencederungan atau suatu dorongan untuk melakukan kejahatan. Hal ini datang dari 'musuh' jiwa kita. Menurut para ahli spiritualitas, musuh jiwa adalah iblis, dunia dan nafsu daging. Sedangkan kejahatan dalam arti ini adalah segala sesuatu yang bukan 'belas kasih dan cinta', kektidaan kebenaran dan segala sesuatu yang datang dari egoisme pribadi, kebohongan dan kejahatan pribadi.

2. Mengapa Pencobaan Terjadi
Banyak orang yang beranggapan bahwa pencobaan itu datang dari Tuhan, sebenarnya anggapan ini tidak tepat. Pencobaan tidak pernah datang dari Tuhan. Pencobaan datang dari 'musuh rohani' kita yang terus menerus menggoda kita supaya jatuh dalam kuasanya. Namun demikian sepertinya Tuhan membiarkan godaan ini mencobai kita. Mengapa demikian? Secara umum bisa dikatakan bahwa dengan menghadapi godaan dan pencobaan akan membuat manusia semakin mencintai Tuhan dengan penuh kasih dan berusaha terus menerus menolak godaan dengan penuh semangat. Kata bijak mengatakan, bahwa emas itu akan semakin menjadi murni bila dibakar dalam tanur api yang panas, demikian pula kiranya dengan jiwa kita, akan semakin murni dan dewasa bila dilumat dalam pencobaan dan godaan hidup di dunia ini.
Dalam Kitab Suci dikatakan: "Anakku, bila engkau menghadap Tuhan, siapkan jiwamu dari pencobaan". Karena musuh jiwamu cemberu kepada Tuhan dan tidak akan membiarkan engkau menghadapNya. Mereka akan melakukan segala usaha untuk menarikmu dari Tuhan. Dan ini akan memberikan penghiburan bagi Tuhan, karena Ia melihatmu berperang melawan kejahatan demi keluhuran dan kesetiaanmu kepadaNya. Mengapa Tuhan tidak mengambil pencobaan darimu? Mengapa Ia membiarkan kita menghadapinya seorang diri. Kalau Ia mencintai kita, bukankan Ia juga harus melindungi kita dari kecenderungan berbuat jahat ini? Thomas a Kempis mengatakan, bahwa musuh yang paling bahaya dan berat itu adalah diri kita sendiri. Karena musuh ini kita ini tidak kelihatan, dan orang lain pun tidak tahu, kita berperang sendiria melawannya. Ini adalah perang jiwa, ini perang antara kejahatan dan kebaikan. Dan perang ini terjadi dalam tubuh jiwa manusia.
Dicobai adalah alami dan manusiawi. Inilah esensi manusia bahwa hidupnya dicobai dan digodai. Inilah hakekat rahmat kebebasan yang Tuhan telah karuniakan kepada setiap pribadi manusia. Dan Tuhan tidak akan menarik kembali kebebasan manusia dalam menentukan hidupnya. Pencobaan adalah saat dimana manusia menentukan kebebasannya, apakah dia akan tetap setia pada Tuhan, atau mengikuti kehendak dirinya untuk mengikuti kehendak Iblis. Walaupun Tuhan memberikan kebebasan kepada kita untuk menentukan pilihan, namun Tuhan tidak membiarkan kita sendirian, dia selalu menyertai dan memampukan kita untuk menghadapi kekuatan kejahatan dan membawa kita kejalan kebenaran. Ini semua tergantung pada kita, kepada tanggapan kita, apakah kita akan mengikuti kehendan RahmatNya. Ini berat, ini adalah suatu tantangan dan panggilan, pilihan bebas Tuhan.
Walaupun sepertinya Tuhan membiarkan kita sendirian, namun jangan merasa 'discourge dan dejected', jangan kehilangan semangat dan putus asa. Bagaimana pun kita harus menghadapi tantangan godaan ini. Godaan membuat kita sadar bahwa kita ini ciptaan, bahwa kita ini manusia yang mempunyai kebebasan untuk memilih, namun juga membuat kita semakin sadar bahwa kita juga seperti Kristus, yang akhirnya memilih kebebasan sejati anak Allah dengan menghikuti kehendanNya.

3. Fase Godaan atau Pencobaan
Ada tiga fase berbeda dalam godaan, yakni 'suggestion, pleasure dan consent'.
Pertama adalah 'suggestion' atau suatu 'bisikan' dalam hati yang menganjurkan kita untuk melakukan kejahatan. Apapan bentuknya dari bisikan, ini belum merupakan dosa, namun semacam suatu 'concupisiansi' atau suatu kecenderungan kearah dosa. Bila bisikan ini ditindak-lanjutin dan dinyatakan dalam tindakkan, maka akan menjadi dosa. Pemeriksaan batin akan membantu kita untuk mematikan 'bisikan' ini, karena ada pertimbangan kebaikan lain yang lebih kuat untuk bisa dipilih.
Kedua adalah 'pleasure' ini adalah suatu kecenderungan diri untuk mengikuti 'kesenangan'. Baik itu kesenangan rohani, dalam arti yang sangat negatif, misalnya 'berdoa' hanya demi kepuasan batin, bukan memuji Tuhan, maupun kenikmatan jasmani yang biasanya terwujud dalam bentuk kepuasaan sesaat. St. Fransiskus de Sales mengatakan: "berkali-kali hal ini terjadi, bahwa jiwa kita mengalami suatu kenikmatan dalam godaan, tanpa disadari, namun sebenarnya ini bertentangan dengan kedalam jiwa kita". Walaupun dari dalam dirinya sendiri 'pleasure' itu bahaya bagi jiwa, namun semua ini belum menjadi 'dosa', bila tidak terwujud dalam tindakan kongkrit. Masih berupa angan-angan jiwa, yang bisa mendorong manusia untuk melakukannya. Namun membuat jiwa menjadi tidak tentram, Jesus mengatakan sebagai 'jinah batin'. dalam hal memandang perempuan dengan penuh nafsu untuk mengingini.
Yang ketiga adalah 'consent'. Ini berarti bahwa kita membiarkan adanya godaan, adanya kecenderungan kearah kejahatan dalam hati, dan membiarkan itu terjadi dalam diri kita, bahkan mungkin kita menyetuinya dengan diam-diam. Bila tidak ada usaha untuk mengatasi 'consent', maka dosa menjadi semakin dekat. Kejahatan akan menjadi wujudnya dalam tindakan. Namun bila kita mulai meragukan dan memikirkannya, maka kita dalam keadaan 'not consented'. Karena kita tidak menyetui, melakan kita mengujinya kembali kearah pemurnian.

4. Bagaimana menghadapi pencobaan
Ada tiga hal yang harus dilakukan untuk menghadapi pencobaan.
Pertama adalah dengan menghindari segala kesempatan yang membawa kita kedalam pencobaan. Dalam hal ini kita harus sadar titik kelemahan kita, karena iblis selalu menunggu kita berada dalam titik lemah untuk menyerangnya. Sadarilah dan perhatikan gejolak jiwa kita, dimana kita sungguh mengalami perasaan letih lesu dan lemah, karena justru dalam situasi seperti itulah kita dihadapan pada perang jiwa yang paling berat. Thomas a Kempis mengatakan bahwa musuh yang paling berat adalah diri kita, jiwa kita. Karena musuh ini adalah musuh yang tidak kelihatan, mereka berperang sendirian dalam diri kita. Dan terjadi justru dikala kita dalam keadaan lemah dan tak bersemangat.
Kedua adalah hadapi pencobaan dengan tenang dan sabar. St. Fransiskus dari Sales menasehati kita; ' meskipun pencobaan kearah kejahatan dan dosa tidak akan pernah berhenti dalam hidup kita, namun hal ini tidak akan membuat kita kehilangan rahmat Ilahi, bila kita memang tidak menikmatinya dan tidak menyetujinya. Terutama karena kita tidak pernah mewujudkan godaan itu dalam tindakan, namun demikian kita mengakui bahwa pencobaan membuat kita 'sengsara'. St. Paulus juga mengalami kesengsaraan karena godaan yang dialami, sampai dia merasa tidak mampu menyenangkan Tuhan, namun demikian dia tetap mampu memuliakan Tuhan karena menerima penderitaan itu dengan penuh kesabaran'.
Ketiga adalah 'menolak' secara tegas setiap godaan atau pencobaan yang datang dalam diri kita. Bagaimana kita harus menolaknya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
1. Tidak pernah membiarkan 'pikiran jahat' muncul, tumbuh dan berkembang dalam diri kita. Hancurkan 'musuh jiwa' dikala dia masih lemah, tolak sejak awal semasa kita masih mampu menguasainya.
2. Sebagaiman seorang anak kecil yang selalu lari kepangkuan ibunya untuk memohon perlindungan dikala dia merasa terancam dan dalam bahaya, demikianlah sikap rohani kita. Kita harus selalu lari kepada Bapa dan Bunda Maria untuk memohon perlindungan ketika kita mengalami bahaya. Bukankah kita yakin bahwa setiap orang yang lari mohon perlindungan kepadaNya tidak akan pernah dikecewakan?
Kiranya cukup sekian dulu refleksi singkat. Semoga membantu kita semua untuk tetap tabah dan tangguh menghadapi cobaan yang kadang kala begitu berat dalam hidup di dunia penuh dosa ini. Semoga dengan kesetiaan diri dan bantuan rahmatNya, kita tetap mampu menjadi muridNya yang setia. Mampu menjadi garam dan terang ditengah masyarakat yang korup dan kehilangan martabat harga diri ini. Amin.


V. Teja Anthara SCJ
Kerala - India.