"Spritualitas' adalah kumpulan artikel mengenai olah rohani, olah batin dari bagi mereka yang ingin memberi makan jiwa. Berbagai kumpulan artikel berkisar pada masalah hidup rohani, saya sajikan dalam blog ini. Selamat menyantapnya, semoga membuat jiwa anda menjadi gemuk. MoTe

Friday, September 12, 2008

Imamat dan Perayaan Ekaristi

Para Romo dan rekan-rekan netter;
Saya temukan artikel kecil yang mungkin bisa berguna untuk sekedar menjadi bahan refleksi bersama. Atau sekaligus mungkin bisa menjadi semacam 'reminder' dan koreksi pribadi bagi para kaum berjubah akan tugas kegembalaannya. Dengan harapan, semoga refleksi kecil ini bisa membantu kita mengembalikan essensi pokok tugas panggilan kaum berjubah sebagai 'alter Christo', membawa keselamatan bagi mereka yang dilayaninya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setiap Hari Kamis Putih, khususnya pada misa krisma, seluruh kaum berjubah merayakan kembali 'hari jadi' mereka. Pada kesempatan ekaristi ini mereka diundang kembali untuk memperbaharui komitmen mereka sebagai barisan selibater dan hirarki yang bertugas meneruskan karya Kristus dalam menghadirkan perayaan ekaristi kepada Gereja dan dunia. Pada perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Jesus dan para muridNya, 'sakramen' imamat lahir di dunia. Dalam Sabda Jesus 'Lakukanlah ini' sebagai kenangan akan Daku' tersirat dan tersurat tugas meneruskan perjamuan kasih ini. Panggilan pelayanan imamat, pertama-tama harus didasarkan pada tugas perutusan Jesus ini, mengenang dan menghadirkan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitanNya dalam perayaan Ekarist. Maka bagi seorang imam, perayaan Ekaristi seharusnya menjadi 'pusat dan sumber iman dan kehidupan' mereka setiap hari. Karena dari sinilah mengalir sumber segala rahmat bagi pelayanan. Lalu sikap atau 'attitude' apa yang harus dibangun terus dan dihayati oleh para imam dalam hubungannya dengan pelayanan perayaan Ekaristi. Paling tidak ada tiga hal pokok yang selalu harus disadari, dihayati dan dilakukan sebagai tugas utama mereka dalam pelayanan imamat mereka.
Pertama; seorang imam haruslah seorang yang sungguh beriman (a believer). Dalam kotbahnya di Hari Kamis Putih tahun 2005 yang lalu, paus Benedict XVI mengakatan "tugas utama yang harus dilakukan oleh seorang imam adalah menjadi orang yang sungguh beriman'. Disini diingatkan dan ditegaskan bahwa seorang imam pertama-tama adalah seorang yang menghayati dan mewujudkan apa yang diyakini dan diimani. Ia haruslah menjadi 'a man of faith' yang selalu mengandalkan Allah sebagai sumber hidupnya. Ia adalah seorang yang selalu berdialog, bercakap-cakap dan selalu berhubungan dengan Allah lewat ketekunan dan kesetiannya dalam doa. Maka imam haruslah menjadi 'seorang pendoa' atau 'a man of prayer'. Selalu mempunyai waktu untuk duduk dalam keheningan diri, terus menerus mencoba memahami kehendak Allah dan selalu melakukannya dalam 'discerment' yang serius. Melalui doa dan 'pembedaan Roh' iman mereka akan semakin bertumbuh kuat dan dalam. Selain itu, imam adalah seorang yang selalu menggali dan mendalami imannya lewat dan dengan pertolongan Kitab Suci dan ajaran Gereja. Jesus dalam Ekaristi adalah 'a man of faith' yang terus menurus dan tekun mendangandalkan Allah Bapa sebagai sumber kehidupanNya.
Imam tanpa hidup doa, adalah kosong. Ajaran tanpa wujud menjadi kurang lengkap. Hidup doa tidak bisa diganti dengan kesibukan pelayanan. Kedua hal merupakan dua sisi yang harus berjalan seimbang. Pelayan tanpa doa menjadi kering, sebaliknya doa tanpa perwujudan menjadi omong kosong. Dalam dunia modern ini betapa kita sering jumpai imam-imam yang tidak mempunyai waktu lagi untuk berdoa. Mereka begitu asyik dengan berbagai kesibukan pelayanan. Sering kali mereka beranggapan bahwa mereka bisa berdoa dalam pelayanan. Betapa seringkali umat juga merasa prihatin terhadap para gembalanya. Mereka lebih banyak meluangkan waktu di depat TV dari pada di ruang doa. Jesus dalam kesibukannya yang luar biasa, hingga tidak sempat untuk makan pun, masih mengutamakan waktu untuk pergi di tempat yang sepi untuk berdoa.
Dari beberapa penyeledikan para ahli ditemukan bahwa kebosanan dalam pelayanan (burn out) pertama-tama berawal dari kesibukan yang begitu menyita waktu dan perhatian. Tetapi melupakan dan mengabaikan waktu dan saat hening untuk berdoa. Tenaga dan pikirannya diserap habis, namun tidak pernah diisi kembali, sehingga lama-lama menjadi habis. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi diantara kaum berjubah karena mereka melupakan hakekat dirinya sebagai 'a man of faith and prayer'
Kedua; seorang imam adalah seorang 'pelayan' (a servant). Karena perubahan dan perkembangan sejarah, imamat akhirnya menjadi dan mempunyai status khusus dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Karena jabatan khusus, mereka menjadi anggota hirarki, dan sering diberi gelar sebagai 'yang terhormat, yang mulia' Hal ini membuat fungsi utama imam sebagai 'pelayan' menjadi kabur dan hilang. Status dan posisi yang istimewa ini bahkan membuat imam menjadi lupa akan esensi dari panggilannya.Bukan hal yang rahasia lagi dalam kehidupan sehari-hari bahwa imam lebih banyak dilayani oleh umat dari pada melayani. Bahkan banyak imam yang justru menuntut ini dan itu dari umat, yang tanpa sadar sebenarnya justru mengingkari 'hakekat imamatnya', sebagaimana Jesus sendiri 'datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani'. Kata 'pelayan' menjadi sangat asing ditelinga para kaum berjubah.
Panggilan imam sebagai 'pastor atau gembala' ditempatkan sebagai posisi kedua dalam pelayanan mereka. Padahal imam sebagai pastor atau gembala umat, lebih bersumber pada Jesus sebagai gambala yang baik, yang dengan rela merendahkan diri menjadi 'pelayanan para rasul' yang diwujudkan dalam pembasuhan kaki mereka. Sebagai seorang 'pelayan', imam seharusnya selalu berada bersama dan ditengah-tengah umat kegembalaannya. Mereka mengenal dan mengetahui situasi dan kondisi umatnya. Mereka mempunyai kepekaan dan kepedulian terhadap kehidupan mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, dan mengalami apa yang mereka nikmati. Imam sungguh mengetahuai apa yang umat perlukan dan apa yang mereka inginkan. Ia harus mampu menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi umatnya, terutama bagi mereka yang sedang menderita. Imam adalah orang yang berani dan sukarela menderita bagi kepentingan umatNya. Semua ini bisa diwujudkan oleh mereka lewat teladan kepemimpinannya yang sungguh berorientasi pada 'servant leadership'.
Mungkin banyak kita yang agak sinis merenungkan bagian ini. Karena kenyataan yang ditemukan dalam hidup, sikap ini menjadi semacam kerinduan yang sulit ditemukan lagi. Banyak imam yang tidak lagi mempunyai semangat melayani, tetapi sebaliknya selalu ingin dilayani. Pelayan di paroki yang seharusnya menjadi tugas utama, kurang dilakukan dengan senang hati bila tidak ada fasilitas dan kemudahan lainnya. Sulit ditemukan dalam dunia modern ini figur seorang imam yang sungguh mampu mewujudkan fungsinya secara konsisten sebagai gembala umat, yang tahu dan merasakan suka duka umatnya. Banyak imam yang lebih senang duduk dibelakang meja kerja diparoki, me-management paroki dari pada 'mengembalakan' umat dengan mengunjungi dan menyapa mereka di tempat dimana mereka hidup dan berjuang.
Yang ketiga adalah bahwa seorang imam adalah 'seorang pemersatu dan pembangun jemaat'. Sakramen Baptis membuat kita menjadi umat Allah, anggota Gereja. Lewat baptis yang kita terima, kita ikut ambil bagian dalam tugas perutusan Kristus didunia ini. Ada yang dipanggil untuk tugas pelayanan khusus sebagai Imam, ada yang menjadi biarawan-biarawati dan ada yang menjalankan tugas ini sebagai seorang awam. Sebagai seorang gembala, imam dipanggil secara khusus untuk menjadi 'seorang pembangun dan pemersatu jemaat'. Karena tugas panggilan ini, hendaklah seorang imam bersusaha untuk mengesampingkan interes pribadi dan selalu menyadiakan dirinya bagi siapa saja. Dia harus terus menerus berusaha menjadi dan menyadari panggilan hidupnya sebagai 'everything for everyone'.
Oleh karena peranan dan fungsinya sebagai pembangun dan pemersatu jemaat, maka kerjasama dengan umat dalam pelayanan menjadi penting. Gaya kepemimpinannya pun sangat menentukan melayanan macam apa yang ingin diwujudkan dalam karya pastoralnya. Maka gaya dan fungsi kepemimpinan yang kirinya cocok dalam pola pembangunan jemaat adalah pendampingan, pemberi semangat dan berbagi, bukan mendominasi dan otoriter.
Akhirnya, perayaan ekaristi menciptakan seorang imam, dan imam menghadirkan perayaan ekaristi. Dalam pelayanan Sakramen Ekaristi, Jesus sungguh harus menjadi sumber inspirasi dan kekuatan sehingga diharapkan bahwa imam sungguh mampu menjadi saksi Kristus yang hidup bagi umat lewat pelayanannya.
Masih banyak hal yang bisa direfleksikan sebagai tugas gembala, tetapi tiga hal ini sudah cukup memadai bila diwujudkan secara penuh dalam pelayanan pastoral para imam.
Vivat Cor Jesu / MoTe

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home