SAKRAMEN REKONSILIASI [1]
Sebagai kata instituai Sakramen Pengampunan biasanya kita mengutip Yo 20,21-22: "Damai sejahtera bagi kamut Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Dan sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada".
Ini memang benar. Tetapi asal-usul Sakramen Pengampunan bisa dicari tempat dan sumber lain. Jesus tidak hanya mengajar umat, tetapi Jesus mencari juga kontak pribadi dengan orang. Kontak itu menyentuh secara individual, personal dan menimbulkan kesan yang sangat mendalam dan mampu mengarahkan orang kepada Allah. Maria dari Betania, si pemuda kaya, Nikodemus, wanita Samaria, wanita yang mengurapi kaki yeaus dengan minyak wangi, anak-anak yang dipeliknya dan diberkatinyat Zakeus, orang lumpuh di kolam Siloam, penjahat di salib, murid-murid dari Emaus, dan banyak yang lain adalah contoh dari kontak personal Jesus dalam karyaNya. Dengan cara ini kiranya Jesus mempersiapkan orang-orang untuk membentuk Gereja, umat. Jesus tidak pernah memperlakukan seseorang secara anonim, sebagai satu dari massa, tetapi Jesus selalu menghormati pribadi individual setiap orang. “Aku mengenal domba-dombaku dengan nama mereka masing-masing." Di sini nampak bahwa Ia selalu menjaga suatu keseimbangan yang luhur antara tekanan atas unsur sosial kodrat manusia, dan hormat tinggi bagi pribadi masing-masing orang.
Tetapi dalam konteks pengakuan dan pengampunan dosa ada hal yang mengganggu, terutama di antara si penitent dan Kristus, masuk orang yang ke tiga, yaitu imam. Seorang manusia yang berani mengatakan "Aku melepaskan dikau dari semua dosamu..." Kehadiran orang ketiga dalam hubungan penitent dan Kristus yang membuat banyak orang keberatan dan dirasa malah ganjil.
Untuk memami hal ini baiklah melibat dalam rangka karya Keselamatan. Jesus memanggil dan memilih para Rasul memberi kepada mereka pesan-pesan kongkret, mengutus mereka meneruskan karyanya, menyebarluaskan apa Dia sendiri ajarkan. Memberi mereka wewenang dan kuasa. Semua ini terjadi dalam kerja sama yang baik. Manusia tidak hanya menjadi orang yang pasif atau penonton saja, tetapi teman sekerja Allah.
Panggilan kepada imamat merupakan kharisma yang membutuhkan formasi dan penegasan obyektif dari luar. Dan hal itu dilakukan oleh para pengganti para nasul, yaitu uskup-uskup. Dan mereka melakukan itu juga dengan kewibawaan Kristus sendiri. Melalui Kristus mengalirlah segala rahmat dan anugerah yang menciptakan kesatuan baru manusia dengan Sumber segala rahmat, yaitu Allah Tritunggal Mahakudus. Dari Sumber itu mengalir hidup baru kepada seluruh umat, terjadi melalui pelayanan para imam Kristus. Di situlah Kristus berkarya dengan tangans, mulut dan hati seorang imam. Kristus mempermandikan orang, Kristus mengampuni dosa, Kristus merubah roti anggur menjadi Tubuh dan DarahNya. Mulut imam menjadi seperti hembusan dunia ilahi. Tangan imam seperti telapak tangan Kristus, telinga imam menjadi seperti alat penyadap surgawi. Jika imam "memperpanjang" in infinitum kurban Ekaristi dengan kata-kata "Inilah tubuhKu” "Ini darahKu” yang untuk pertama kalinya disabdakan Jesus dalam Perjamuan Terakhir, maka kita tahu, bahwa dalam bunyi suara imam ada kuasa Kristus sendiri. Kuasa yang sama yang pada perjamuan terakhir merubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, dan sekarang berkarya juga di semua altar di dunia. Memang, di hadapan misteri itu, manusia - imam tidak berarti apa apa. Tetapi manusia itu didiami Kristus.
Tuhan menampakkan Diri kepada Musa di padang gurun dalam sebuah semak yang bernyala. Waktu Musa mendekat hendak melibat kejadian aneh itu dari dekat, ia mendengar suara: "Jangan mendekat. Lepaskanlah sepatu, sebab tempat yang kauinjak itu adalah tanah suci." Suci, sebab Allah ada di situ.
Tempat di mana berlangsung pengakuan dosa merupakan tempat yang lebih suci dari tanah (holy ground) tempat Musa berpijak. Ini tempat di mana terpecahkan perang antara kejahatan dan kebaikan. Perang antara Allah dan setan. Tempat, di mana jiwa-jiwa manusia direbut kembali dari cengkeraman si jahat. Tempat, di mana orang melepaskan bukan sepatu,, tetapi “manusia lama”. Tempat di mana manusia mananggalkan pakaian yang dinajiskan dosa, dan dari tangan Allah akan menerima "pakaian" baru yang indah. (bersambung)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home