"Spritualitas' adalah kumpulan artikel mengenai olah rohani, olah batin dari bagi mereka yang ingin memberi makan jiwa. Berbagai kumpulan artikel berkisar pada masalah hidup rohani, saya sajikan dalam blog ini. Selamat menyantapnya, semoga membuat jiwa anda menjadi gemuk. MoTe

Friday, September 12, 2008

SAKRAMEN REKONSILIASI [3]

IMAM SEBAGAI CONFESSARIUS
Sebagai manusia berdosa dan lemah, imam membutuhkan Sakramen Pengampunan. Tetapi sekaligus imam adalah bendahara Sakramen itu, pelayanan pendamaian. Pernah, dalam suatu pertemuan para imam, salah satu dari mereka bertanya: "Sejauh mana semboyan "Sacerdos alter Christus" itu benar. Seorang imam yang lain mengatakan: "Seandainya saya tidak merasa diri sebagai "alter Kristus", saya tidak akan berani masuk ke tempat pengakuan dosa. Tempat itu 'menakutkan, tetapi toh saya masuk, sebab Kristus menuntut ini dari saya. Pun juga Gereja dan umat membutuhkannya. Dan saya tidak bisa menguasai rasa takut itu, seandainya saya tidak yakin, bahwa pelaku utama di situ bukan saya, tetapi Kristus. Kristus memperhatikan di situ para penitent dan menjaga juga saya. Karena itu saya sering mengingat kata- kata Kristus: "Siapa mendengar kamu ia mendengar Aku”
Adhortatio apostolica "Reconciliatio et poenitentia" menekankan cukup kuat peranan Imam sebagai "dokter jiwa" dalam pelayanan sakramen pengampunan. Terutama sesudah Konsili Trente imam dilihat sebagai hakim. Memandang imam dalam pelayanan Sakramen pengampunan sebagai hakim tidak keliru, tetapi ini bukan peranan satu-satunya dan harus dipahami juga dengan cara yang benar. Istilah itu dipakai dalam arti analogi dan peranan imam sebagai hakim tidak terletak dalam menghitung-hitung secara matematika jumlah dan beratnya dosa, serta derajat kesalahan orang. Hal itu diketahui dengan jelas hanya oleh Allah sendiri. Tetapi imam hanya melihat apakah penitent sungguh mau memutuskan hubungan dengan dosa dan masuk tobat, atau tidak.
Dengan kata lain, imam harus melihat apakah kata-kata pengampunan boleh diucapkan atau tidak. Sebab di mana soorang bordosa secar jujur dan di bawah pengaruh rahmat Tuban mau bertobat dan mengaku dosa, Gereja tidak bisa “menahan" dosanya itu.
Imam bisa menolak pengampunan, tetapi bukan karena beratnya atau banyaknya dosa. Bukan juga karena ia mau menghukum demikian si pendosa. Imam bukan "tuan" pengampunan tetapi "pelayan pengampunan". Dan Kristus mau mengampuni setiap orang yang menyesal. Singkatnya, tugas imam sebagai hakim terletak hanya dalam melihat apakah orang bertobat, membuka hati atas rahmat pengampun.
Peranan imam yang jauh lebih luas dalam sakramen Tobat adalah sebagai "dokter" jiwa. Hidup manusia selalu mengalami pasang naik dan surut. Panggilan dan tugas manusia adalah berjalan terus tanpa berbenti di jalan yang benar. Maju terus. Hidup dewasa ini mendesak agar maju jangan berhenti karena akan dikalahkan dalam saingan, konkurensi di semua bidang. Pada hal Jesus mengatakan: "Jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil, kamu tidak masuk ke dalam Kerajaan surga". Kata-kata ini membuat banyak orang tercengang dan tidak menganggapnya serius sebab - pikir mereka - jika kata itu dianggap serius dan dilakukan, akan mengakibatkan kemunduran manusia.
Bertobat, pulang kembali kepada Tuban tidak merupakan kemunduran. Sebaliknya mengaku “saya berdosa" berarti bahwa saya lebih menyadari kemerosotan eksistensiku. Saya mengakui bahwa saya telah melakukan langkah yang fatal. Dosa adalah pelarian dari kemajuan, kebaikan dan perkembangan. Dosa menyerang inti kemanusiaan, kepribadian kita, merusakkan realitas yang menentukan mengenai kemajuan, yaitu karakter autentik kita. Merusak identitas kita yakni arah yang benar hidup. Sebab kita diciptakan untuk melakukan apa yang dikehendaki pencipta, mengenal segala hal yang Dia kenal mencintai apa yang Dia cintai. Padahal inti dosa adalah melakukan yang ap Tuban tidak mau mencintai dan yang Tuhan tidak setuju. Maka dosa nampak sebagai ketidakadilan terhadap Allah, tetapi juga terhadap diri sendiri.
Dosa adalah pelarian diri dari hadapan Allah. Hal yang sangat serius dan ini merupakan tragedi adalah bahwa dosa masih terus berkembang membesar, hal ini terjadi karena biasanya orang menyangkal dosanya. Jika orang buta menyangkal bahwa dia buta, bagaimana mungkin ia bisa disembuhkan? Jika orang sakit tidak percaya bahwa ia sakit, tidak bisa disembuhkan juga. Tetapi pada saat sinar rahmat masuk ke dalam hati, dalam terang sinar itu orang mulai menyadari langkahnya yang keliru. Dan sejak itulah mulai kemajuan yang benar. Tobat merupakan sungguh kemajuan!
Peranan imam yang penting di sini adalah berntindak sebagai dokter. Efektivitas peranan itu tergantung dari keterlibatan pribadi imam sendiri. Di sini terutama imam menjadi alat dalam tangan Dokter Ilahi. Melalui dia, Kristus tidak hanya mengucapkan kata pengampunan tetapi melalui imam Kristus menegur, menasehati, mengajak, menghibur. Melalui imam mengalir “kuasa Allah yang menyembuhkan”.
Pertama-tama imam harus memungkinkan peniten mengalami kehadiran Kristus yang menyelamatkan bagi si penitent. Ini akan terlaksana, kalau imam - seperti Yohanes Pembaptis - menunjukkan Kristus yang berkarya dalam Sakramen, kalau ia dalam cara menyelenggarakan pelayanannya, meniru teladan Dia yang dia wakili.
Sakramen Tobat yang diterima dalam suasana iman, syukur dan pujian bagi Allah membuat, bahwa penitent dengan lebih gampang akan mengalami kehadiran dan dekatnya relasi Allah. Situasi ini akan mempengaruhinya untuk lebih membuka hati bagi rahmat pengampunan. "Betapa Allah baik, kalau hamba-hambanya begitu baik”
Dokter jiwa ini sekaligus juga saudara si penitent. Ia dipanggil untuk menanggung dengan sukarela dan sengaja penyangkalan diri dan matiraga, untuk memohon rahmat tobat lebih mendalam bagi mereka yang akan datang kepadanya untuk mengaku dosa. "Tobat yang ditanggung bagi orang lain yang diambil oleh imam, merupakan nilai yang sama, seperti perantaraan Gereja, sebab dalam Sakramen Tobat, imam adalah wakil resmi Gereja.
Masing-masing jiwa membutuhkan perhatian khusus. Tetapi hal yang terjadi karena penitent begitu banyak dan waktunya sempit kita mempunyai kecenderungan memperlakukan semua secara skematis, rutin, formalistis. Asal cepat. Akibatnya penitent tidak merasa terkesan, tidak terjadi perubahan sedikitpun dalam cara hidup, dalam sifatnya. Imam tidak menyentuh kebutuhan individual penitent, tidak diajak untuk menangani diri sendiri secara lebih serius. Dan kiranya ini menjadi salah satu penyebab bahwa hidup Kristiani begitu banyak orang tidak panas tidak dingin, itu-itu saja. Seorang pengarang Inggris menyindir tajam orang katolik seperti itu: "Agama katolik indah sekali, asal tidak ada orang-orang katolik".
Umat mengeluh ‘kami berjalan sendirian’. Bergulat dengan diri sendiri, dengan masalah-masalah batin dengan kesulitan-kesulitan hidup, eksistensi, ekonomi dsb. Di sekeliling kami orang menjadi dingin, orang makin acuh tak acuh, orang pada bersaingan diri secara tidak sehat, konkurensi, korupsi dan kolus. Maka jika dalam pengakuan dosa mereka bertemu seorang pastor yang memberi perhatian simpatik, memperlihatkan kebaikan hati, hati umat tersentuh, mau membuka diri. Pertama kali mungkin hanya sedikit, tetapi kedua kalinya merupakan muda untuk menjadi terbuka sepenuhnya. Dan saat itulah imam bisa melihat semua kemampuan tenaga, kekurangan, kelemahannya. Bisa melihat apa yang bisa dituntut dari jiwa itu bagaimana dapat mengarahkannya menolongnya. Dan waktu itulah bapa pengakuan menjadi bukan hakim, tetapi dokter jiwa, guru, sahabat.
Apakah itu mungkin? Begitu banyak kesibukan, tak ada waktu. Jika pengakuan dosa diadakan hanya sebelum Natal dan paska, secara massal, memang kita tidak mempunyai waktu untuk memberi perhatian kepada masing-masing jiwa. Hal ini pantas dipikirkan secara serius, mengingat bahwa pengakuan dosa merupakan juga sarana pastoral, yang pengaruhnya sangat besar. Sayang kalau orang-orang non katolik menilai tinggi sekali peranan pengakuan dosa, tetapi kita sendiri meremehkannya. Sto Yohanes Vianney tidak mempunyai masalah dengan kekurangan waktu. Bagi dia satu-satunya hal yang penting adalah orang yang saat ini datang mengaku dosa. Semua hal lain baginya menjadi tidak penting. Dan karena itu ia bisa duduk di tempat pengakuan dosa sampai duapuluh jam sehari! Yohanes sadar, bahwa bagi seorang imam, sesudah Misa kudus, menerima pengakuan dosa adalah kewajiban nomer satu. Sayang, bahwa tempat pengakuan mengandung begitu banyak harta kekayaan ilahi kita belum kita gali dan temukan kekayaannya. Padahal kita taahu bahwa dari segi psikologis hati seorang akan lebih terbuka dalam pengakuan dosa untuk menerima sabda Allah, dari pada hati orang yang mendengar khotbah.
Berbagai macam orang yang datang ke tempat pengakuan. Bisa jadi mereka yang datang adalah orang yang mengaku secara rutin, dan mungkin juga dengan "dosa-dosaku selalu sama". Bisa juga datang orang telah sekian lama bergulat dengan dirinya sendirian, tidak ada teman yang menemaninya. Mereka berbicara tentang kekosongan hati, tentang beratnya hidup tanpa Tuhan.
Datang orang yang tenang yang memelihara "kerapihan batin” tetapi datang pula yang golisah, bingung, yang ingin mencurahkan segala kepahitan batin, ketidakadilan yang dialaminya. Dan imam harus mendengar mereka semua. Mungkin bisa berbuat sedikit menenangkan, mengarahkan pikiran mereka kepada hal-hal yang paling penting.
Datang orang dengan iman yang sungguh hidup tetapi datang juga orang yang mulai dari kata-kata: "Pastor, sebenarnya saya sudah tidak percaya,..” (Bersambung)
salam dan
MoTe

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home