"Spritualitas' adalah kumpulan artikel mengenai olah rohani, olah batin dari bagi mereka yang ingin memberi makan jiwa. Berbagai kumpulan artikel berkisar pada masalah hidup rohani, saya sajikan dalam blog ini. Selamat menyantapnya, semoga membuat jiwa anda menjadi gemuk. MoTe

Friday, September 12, 2008

SAKRAMENT REKONSILIASI [4 TAMAT]


Mungkin paling banyak orang datang karena mengalami kekecewaan, frustrasi. Mereka datang membawa rasa ketakutan, kesulitan-kesulitan semu, tetapi juga dengan kesulitan yang sungguh-sungguh. Mereka membawa sikap yang ganjil, luka-luka yang belum sembuh, orang-orang yang mengalami tragedi. Mereka semua itu perlu kita dengarkan dengan sabar, tanpa memperlihatkan rasa bosan. Perlu hati yang sabar untuk berusaha mengerti mereka, syukur bisa menawarkan pertolongan dan yang pasti adalah kita bisa mendoakan mereka. Datang orang -yang luka-lukanya sembuh dengan lewatnya banyak waktut tetapi bekas luka itu masih dirasa sakit, menyulitkan hidup. Akibat-akibat luka-luka itu - dengan suatu transformasi - masuk ke dalam hidup generasi baru sebagai warisan yang memberatkan, mungkin dalam bentuk kecurigaan terhadap setiap orang, kesulitan untuk mempercayai, untuk melihat kemauan baik.
Datang orang dengan suatu kemiringan psikis, tidak normal, mereka datang ke ruang pangakuan karena mereka berharap bahwa mungkin di tempat mereka akan dilihat dan diterima secara serius. Bahwa pastor akan memberi sedikit waktu, mendengar mereka dengan sabar, akan mengerti dunia kecurigaan, kegilaan, suara-suara khayalan mereka. Orang-orang dari lingkungan mereka asal melihat orang itu mendekat, langsung menutup pintu, malah mengusir dengan marah-marah. Orang seperti ini sungguh perlu untuk diterima, dan bersuha agar pastor tidak mengecewakan mereka. Agar mengikat kontak psikis, menenangkan, mengemukakan arti hidup. Bagi penitent situasi ini sangat berat untuk ditanggungnya, karena kelainan psikis itu mengisolir mereka dari dunia orang "normal". Biasanya lingkungan tidak mengerti mereka, mereka diremehkan, malah diejek, pada hal, mereka mempunyai juga rasa harga diri. Apakah pastor bisa menolong mereka? Rasanya bisa. Justru dengan mendengar, dengan berusaha mengerti, dengan berusaha mengarahkan pikiran nekat mereka ke arah lain, menunjukkan Kristus yang lebih kuat dari penyakit mereka, menjanjikan doa, memberi pengampunan membuat orang itu menemukan dirinya.
Datang pula orang dengan depresi berat, sudah tidak melihat tempat bagi dirinya di dunia ini. Putus asa, merasa sangat sedih dan ingin mati. Bisa jadi dikamar itu dia engatakan bahwa mau bunuh diri, malah sudah mencoba. Sekarang sudah ambil keputusan, tetapi sebelum melaksanakannya, namun masih datang mengaku dosa, untuk terahir kalinya. Bisakah imam menerangkan kepadanya kata-kata dari "Redemptor Hominis” bahwa setiap orang tercakup dalam misteri Penebusan, bahwa Kristus ingin bertemu dengan setiap manusia dalam misteri itu, ingin sekali untuk selamanya menyatukan Diri dengannya. Mampukah imam menunjukkan arti hidup dalam penderitaan, serta tujuan konkret orang-orang itu? Bisakah berbuat sesuatu dalam situasi seperti ini?
Psycoterapi? Memang, pengakuan dosa mempunyai juga suatu pengaruh psycoterapeutik, tetapi hanya melalui relasi dengan Kristus. Oleh iman dan Injil, oleh tabbisan imamat confessarius, sakramen Tobat mengabdi kepada mendamaikan manusia dengan Allah, melepaskan manusia dari beban dosa. Pun juga, para penitent datang mengaku dosa bukan karena si imam adalah ahli psykologi, tetapi karena iman, dan karena mereka mempercayai Kristus dan GerejaNya. Dan si confessarius memiliki nilai-nilai dan kekuasaan, yang tidak dimiliki oleh dokter atau psycolog yang terbaik sekalipun. Imam mempunyai kebijaksanaan Injil, kebijaksanaan dan pengalaman Gereja, serta kekuatan yang menyelamatkan imamat Kristus Dan Kristus sendiri yang berkarya di situ.
Untuk menjalankan tugas ini sebagai dokter dan guru, bapa pengakuan haruslah orang yang beriman dan berkeyakinan kuat. Orang hidup dan bertahan dalam rahmat, dalam hidup Ilahi, keinginan hatinya adalah untuk menyelamatkan banyak jiwa. Berkobar dalam semangat dan siap berkurban bagi jiwa-jiwa. Ia mempunyai semangat dalam penyangkalan diri dan hidup tekun dalam doa yang tak kunjung henti.
Oleh karena itu dari seorang bapa pengakuan umat mengharapkan:
a). Kebaikan dan kepekaan hati. Kebaikan hati membuat si penitent tenang.
Kebaikan hati meyakinkandam menawan. Sebaliknya, jika bapa pengakuan pemarah, kasar dan keras akan menimbulkan perasaan takut, tak tenang dan menimbulkan prasangka dan kecurigaan. Orang akan menutup hati sebelum membukanya. Membuat orang kecewa dan menghindari Sakramen Pengampunan, dari Gereja, dari Allah, bahkan bisa untuk selamanya.
b). Rasa hormat kepada penitent. Penitent datang mengakui karena disentuh rahmat. Walaupun ia berdosa ia tetap milik Allah. Tuhan sendiri membela hak-haknya. Tuhan berkarya di dalam hati orang itu, Imam hanya menyelesaikan karya Allah itu. Tetapi imam tidak boleh merusakkan atau menghentikan karya rahmat itu dengan sikap-sikapnya yang tidak baik.
c). Kesabaran. Menerima pengakuan dosa itu bukan tugas ringan. Tugas ini sungguh berat, membosankan dan melelahkan syaraf. Hasilnya tidak dapat dilihat atau diukur. Penitent sering cukup kasar, tidak tahu hal-hal paling pokok. Ada yang keras kepala, sinis, nakal. Janganlah hal ini membuat imam marah, berbicara keras dan kasar, sebab ini sungguh sangat merugikan. Perlu usaha untuk mengerti penitent, masuk ke dalam situasi dia dan dalam keadaan jiwanya. Perlu memperhatikan umur, jenis kelamin, pendidikan, lingkungannya, masa lalu, kebiasaannya dsb.
c). Baik hati tetapi menuntut dan tegas. "Fortiter et suaviter". Sikap kompromi dan minimalis sangat merugikan. Jahat harus disebut jahat. Dalam hal ini tidak boleh tawar-menawar, tidak boleh lunak dalam hal Perintah-Perintah Allah, kakrena kesempatan dekat terhadap dosa berat merupakan bahaya neraka.
Sakramen pengakuan memberi arti dan posisi khusus untuk memandang realitas hidup manusia. Tempat ini bisa memperlihatkan secara sangat realistis banyak hal, banyak ketergantungan, ikatan antara sebab dan akibat-akibat dalam hidup orang. Dengan meenerima dan mendengarkan pengakuan dosa imam melihat bukan hanya dosa dan kejahatan manusia, tetapi perang kejam di antara kejahatan dan Allah, perang Kristus, perang yang ahirnya akan dimenangkan oleh Kristus. Imam melihat pula bagaimana Allah mencari manusia, dan bagaimana manusia mencari Allah, mencari keadilan di hadapan Allah, haus dan lapar akan Allah cintakasihNya. Imam melihat ketidak-mampuan dunia untuk membahagiakan hati manusia, memenuhinya. Imam melihat bahwa Kristus sekarang sama seperti dulu mengusir roh-roh jahat, membuka mata orang-orang buta menyembuhkan orang-orang lumpuh, kusta, menguatkan yang lemah, mengangkat yang jatuh dengan cara tidak spektakuler, tersembunyi bagi mata manusia tetapi toh nyata. Sama seperti dulu, sekarang juga Kristus mencari kontak individual dengan manusia. Dan berkat pribadi seorang imam, pencarian itu mempunyai bentuk riil.
Selesai pengakuan imam merasa rileks tetapi biar betapapun payahnya, merasa berhutang budi kepada.Allah dan bersyukur, karena sudi melibatkannya dalam karya keselamatan yang begitu indah dan luhur.
Berkat Sakramen ini, manusia mengalami bukan Allah yang adil dan dahsyat, tetapi Allah yang penuh cintakasih yang mengampuni, Allah yang mengangkat manusia dari lembah dosa. Dan pengalaman itu sangat menolong mengenal lebih dalam kelemahan pribadi, kelemahan temperamen dan akibat-akibat kelemahan itu. Sehingga pengetahuan itu tidak menimbulkan frustrasi dan stress, sebab dalam penemuan kesalahan, penitent sekaligus menemukan pengalaman baru belaskasihan yang penuh kesabaran dan kepekaan Allah. Menolong menerima keterbatasan pribadi, tanpa mengalah pasif kepada keterbatasan itu.
Pembaharuan rohani akan terwujud jika semua Imam menghargai pemberian terbesar Belaskasihan Allah, dalam Sakramen Tobat yang mereka layani. Kalau semua imam secara jujur dan tanpa melebih-lebihkan, mempunyai pengayatan semangat ini “Saya tidak bisa menatap seseorang, tanpa keinginan besar untuk memberi kepadanya absolusi".
salam dan doa
MoTe

SAKRAMEN REKONSILIASI [3]

IMAM SEBAGAI CONFESSARIUS
Sebagai manusia berdosa dan lemah, imam membutuhkan Sakramen Pengampunan. Tetapi sekaligus imam adalah bendahara Sakramen itu, pelayanan pendamaian. Pernah, dalam suatu pertemuan para imam, salah satu dari mereka bertanya: "Sejauh mana semboyan "Sacerdos alter Christus" itu benar. Seorang imam yang lain mengatakan: "Seandainya saya tidak merasa diri sebagai "alter Kristus", saya tidak akan berani masuk ke tempat pengakuan dosa. Tempat itu 'menakutkan, tetapi toh saya masuk, sebab Kristus menuntut ini dari saya. Pun juga Gereja dan umat membutuhkannya. Dan saya tidak bisa menguasai rasa takut itu, seandainya saya tidak yakin, bahwa pelaku utama di situ bukan saya, tetapi Kristus. Kristus memperhatikan di situ para penitent dan menjaga juga saya. Karena itu saya sering mengingat kata- kata Kristus: "Siapa mendengar kamu ia mendengar Aku”
Adhortatio apostolica "Reconciliatio et poenitentia" menekankan cukup kuat peranan Imam sebagai "dokter jiwa" dalam pelayanan sakramen pengampunan. Terutama sesudah Konsili Trente imam dilihat sebagai hakim. Memandang imam dalam pelayanan Sakramen pengampunan sebagai hakim tidak keliru, tetapi ini bukan peranan satu-satunya dan harus dipahami juga dengan cara yang benar. Istilah itu dipakai dalam arti analogi dan peranan imam sebagai hakim tidak terletak dalam menghitung-hitung secara matematika jumlah dan beratnya dosa, serta derajat kesalahan orang. Hal itu diketahui dengan jelas hanya oleh Allah sendiri. Tetapi imam hanya melihat apakah penitent sungguh mau memutuskan hubungan dengan dosa dan masuk tobat, atau tidak.
Dengan kata lain, imam harus melihat apakah kata-kata pengampunan boleh diucapkan atau tidak. Sebab di mana soorang bordosa secar jujur dan di bawah pengaruh rahmat Tuban mau bertobat dan mengaku dosa, Gereja tidak bisa “menahan" dosanya itu.
Imam bisa menolak pengampunan, tetapi bukan karena beratnya atau banyaknya dosa. Bukan juga karena ia mau menghukum demikian si pendosa. Imam bukan "tuan" pengampunan tetapi "pelayan pengampunan". Dan Kristus mau mengampuni setiap orang yang menyesal. Singkatnya, tugas imam sebagai hakim terletak hanya dalam melihat apakah orang bertobat, membuka hati atas rahmat pengampun.
Peranan imam yang jauh lebih luas dalam sakramen Tobat adalah sebagai "dokter" jiwa. Hidup manusia selalu mengalami pasang naik dan surut. Panggilan dan tugas manusia adalah berjalan terus tanpa berbenti di jalan yang benar. Maju terus. Hidup dewasa ini mendesak agar maju jangan berhenti karena akan dikalahkan dalam saingan, konkurensi di semua bidang. Pada hal Jesus mengatakan: "Jika kamu tidak menjadi seperti anak kecil, kamu tidak masuk ke dalam Kerajaan surga". Kata-kata ini membuat banyak orang tercengang dan tidak menganggapnya serius sebab - pikir mereka - jika kata itu dianggap serius dan dilakukan, akan mengakibatkan kemunduran manusia.
Bertobat, pulang kembali kepada Tuban tidak merupakan kemunduran. Sebaliknya mengaku “saya berdosa" berarti bahwa saya lebih menyadari kemerosotan eksistensiku. Saya mengakui bahwa saya telah melakukan langkah yang fatal. Dosa adalah pelarian dari kemajuan, kebaikan dan perkembangan. Dosa menyerang inti kemanusiaan, kepribadian kita, merusakkan realitas yang menentukan mengenai kemajuan, yaitu karakter autentik kita. Merusak identitas kita yakni arah yang benar hidup. Sebab kita diciptakan untuk melakukan apa yang dikehendaki pencipta, mengenal segala hal yang Dia kenal mencintai apa yang Dia cintai. Padahal inti dosa adalah melakukan yang ap Tuban tidak mau mencintai dan yang Tuhan tidak setuju. Maka dosa nampak sebagai ketidakadilan terhadap Allah, tetapi juga terhadap diri sendiri.
Dosa adalah pelarian diri dari hadapan Allah. Hal yang sangat serius dan ini merupakan tragedi adalah bahwa dosa masih terus berkembang membesar, hal ini terjadi karena biasanya orang menyangkal dosanya. Jika orang buta menyangkal bahwa dia buta, bagaimana mungkin ia bisa disembuhkan? Jika orang sakit tidak percaya bahwa ia sakit, tidak bisa disembuhkan juga. Tetapi pada saat sinar rahmat masuk ke dalam hati, dalam terang sinar itu orang mulai menyadari langkahnya yang keliru. Dan sejak itulah mulai kemajuan yang benar. Tobat merupakan sungguh kemajuan!
Peranan imam yang penting di sini adalah berntindak sebagai dokter. Efektivitas peranan itu tergantung dari keterlibatan pribadi imam sendiri. Di sini terutama imam menjadi alat dalam tangan Dokter Ilahi. Melalui dia, Kristus tidak hanya mengucapkan kata pengampunan tetapi melalui imam Kristus menegur, menasehati, mengajak, menghibur. Melalui imam mengalir “kuasa Allah yang menyembuhkan”.
Pertama-tama imam harus memungkinkan peniten mengalami kehadiran Kristus yang menyelamatkan bagi si penitent. Ini akan terlaksana, kalau imam - seperti Yohanes Pembaptis - menunjukkan Kristus yang berkarya dalam Sakramen, kalau ia dalam cara menyelenggarakan pelayanannya, meniru teladan Dia yang dia wakili.
Sakramen Tobat yang diterima dalam suasana iman, syukur dan pujian bagi Allah membuat, bahwa penitent dengan lebih gampang akan mengalami kehadiran dan dekatnya relasi Allah. Situasi ini akan mempengaruhinya untuk lebih membuka hati bagi rahmat pengampunan. "Betapa Allah baik, kalau hamba-hambanya begitu baik”
Dokter jiwa ini sekaligus juga saudara si penitent. Ia dipanggil untuk menanggung dengan sukarela dan sengaja penyangkalan diri dan matiraga, untuk memohon rahmat tobat lebih mendalam bagi mereka yang akan datang kepadanya untuk mengaku dosa. "Tobat yang ditanggung bagi orang lain yang diambil oleh imam, merupakan nilai yang sama, seperti perantaraan Gereja, sebab dalam Sakramen Tobat, imam adalah wakil resmi Gereja.
Masing-masing jiwa membutuhkan perhatian khusus. Tetapi hal yang terjadi karena penitent begitu banyak dan waktunya sempit kita mempunyai kecenderungan memperlakukan semua secara skematis, rutin, formalistis. Asal cepat. Akibatnya penitent tidak merasa terkesan, tidak terjadi perubahan sedikitpun dalam cara hidup, dalam sifatnya. Imam tidak menyentuh kebutuhan individual penitent, tidak diajak untuk menangani diri sendiri secara lebih serius. Dan kiranya ini menjadi salah satu penyebab bahwa hidup Kristiani begitu banyak orang tidak panas tidak dingin, itu-itu saja. Seorang pengarang Inggris menyindir tajam orang katolik seperti itu: "Agama katolik indah sekali, asal tidak ada orang-orang katolik".
Umat mengeluh ‘kami berjalan sendirian’. Bergulat dengan diri sendiri, dengan masalah-masalah batin dengan kesulitan-kesulitan hidup, eksistensi, ekonomi dsb. Di sekeliling kami orang menjadi dingin, orang makin acuh tak acuh, orang pada bersaingan diri secara tidak sehat, konkurensi, korupsi dan kolus. Maka jika dalam pengakuan dosa mereka bertemu seorang pastor yang memberi perhatian simpatik, memperlihatkan kebaikan hati, hati umat tersentuh, mau membuka diri. Pertama kali mungkin hanya sedikit, tetapi kedua kalinya merupakan muda untuk menjadi terbuka sepenuhnya. Dan saat itulah imam bisa melihat semua kemampuan tenaga, kekurangan, kelemahannya. Bisa melihat apa yang bisa dituntut dari jiwa itu bagaimana dapat mengarahkannya menolongnya. Dan waktu itulah bapa pengakuan menjadi bukan hakim, tetapi dokter jiwa, guru, sahabat.
Apakah itu mungkin? Begitu banyak kesibukan, tak ada waktu. Jika pengakuan dosa diadakan hanya sebelum Natal dan paska, secara massal, memang kita tidak mempunyai waktu untuk memberi perhatian kepada masing-masing jiwa. Hal ini pantas dipikirkan secara serius, mengingat bahwa pengakuan dosa merupakan juga sarana pastoral, yang pengaruhnya sangat besar. Sayang kalau orang-orang non katolik menilai tinggi sekali peranan pengakuan dosa, tetapi kita sendiri meremehkannya. Sto Yohanes Vianney tidak mempunyai masalah dengan kekurangan waktu. Bagi dia satu-satunya hal yang penting adalah orang yang saat ini datang mengaku dosa. Semua hal lain baginya menjadi tidak penting. Dan karena itu ia bisa duduk di tempat pengakuan dosa sampai duapuluh jam sehari! Yohanes sadar, bahwa bagi seorang imam, sesudah Misa kudus, menerima pengakuan dosa adalah kewajiban nomer satu. Sayang, bahwa tempat pengakuan mengandung begitu banyak harta kekayaan ilahi kita belum kita gali dan temukan kekayaannya. Padahal kita taahu bahwa dari segi psikologis hati seorang akan lebih terbuka dalam pengakuan dosa untuk menerima sabda Allah, dari pada hati orang yang mendengar khotbah.
Berbagai macam orang yang datang ke tempat pengakuan. Bisa jadi mereka yang datang adalah orang yang mengaku secara rutin, dan mungkin juga dengan "dosa-dosaku selalu sama". Bisa juga datang orang telah sekian lama bergulat dengan dirinya sendirian, tidak ada teman yang menemaninya. Mereka berbicara tentang kekosongan hati, tentang beratnya hidup tanpa Tuhan.
Datang orang yang tenang yang memelihara "kerapihan batin” tetapi datang pula yang golisah, bingung, yang ingin mencurahkan segala kepahitan batin, ketidakadilan yang dialaminya. Dan imam harus mendengar mereka semua. Mungkin bisa berbuat sedikit menenangkan, mengarahkan pikiran mereka kepada hal-hal yang paling penting.
Datang orang dengan iman yang sungguh hidup tetapi datang juga orang yang mulai dari kata-kata: "Pastor, sebenarnya saya sudah tidak percaya,..” (Bersambung)
salam dan
MoTe

SAKRAMEN REKONSILIASI [2]


Oleh karena itu Gereja mengajak kita untuk sesering mungkin menerima Sakramen ini. Kita bukan hanya menerimanya jika kita jatuh ke dalam dosa berat. Gereja menganjurkanSakramen ini bagi jiwa-jiwa yang sudah sejak lama berpisah dengan dosa. Konsili Vat II, Hukum Gereja yang lama dan yang baru, serta aturan semua Konggregasi mengajak para anggotanya untuk sering mungkin dan secara serius menerima samber rahmat ini. (Lihat: Dekrit Tentane Pelayanan dan Kehidupan Para Imam Nr 13 dan Nr 8; Hukum Gereja Can 276 & 2, Nr 5)
Menurut ajaran Gereja, dosa berat dapat diampuni – dalam keadaan biasa - hanya dengan menerima Sakramen Pengampunan. Dosa-dosa yang disebut kecil dapat diampuni melalui jalan lain, tanpa Sakramen, yaitu dengan doa tobat penuh penyesalan, dengan suatu perbuatan amal, derma, Misa Kudus, Komuni, ziarah, matiraga dsb. Ini sarana-sarana yang sejak permulaan dimanfaatkan umat beriman untuk membersihkan hati dari dosa. Maka-tidak ada kewajiban menerima Sakramen Pengampunan untuk menghapus dosa terutama yang kita katergorikan sebagai dosa kecil. Tetapi toh Gereja menganjurkan agar kita menerima sering Sakramenitu. Mengapa? Apakah ada suatu perbedaan di antara pengampunan yang kita peroleh dengan cara extra sakramental dan pengampunan yang kita terima dalam Sakramen Pengampunan?
Kita harus menyadari bahwa Sakramen merupakan sesuatu yang melebibi segala usaha manusia, sehingga tak ada satu halpun yang dapat dibandingkan, apa lagi disamakan dengan efisiensi sakramen. Sebab di dalam Sakramen-sakramen Kristus sendiri berkarya, bukan manusia. Dalam bahasa tradisional ini disebut: "opus operatum". Walaupun kita perlu memahami bahwa Sakramen itu bukan automatis menghasilkan rahmat dalam diri orang itu, tetapi selalu membutuhkan kerja sama manusia dengan Allah. Efisiensi itu berasal bukan dari sifat manusia, tetapi dari kuasa Allah sendiri.
Kecuali itu sakramen Pengampunan mempunyai ciri khas dan tujuan yang khas, yaitu menyembuhkan jiwa yang berdosa dan lemah. Pertama-tama mempunyai kuasa mengampuni dosa (disebut: Sakramen kelahiran kembali - seperti Permandian). Tetapi juga mempunyai kekuatan yang menyembuhkan jiwa, menguatkannya, mencurahkan kekuatan baru. Kekuatan itu secara khusus dimaksudkan untuk menolong jiwa bertahan dalam kebaikan, menjauh dari dosa. Di sinilah letak perbedaan pokok antara pengampunan sakramental dan ekstra sakramental.
Maka kita bisa mengatakan bahwa pengampunan dosa itu sebagian saja dari hasil Sakramen ini. Kecuali pengampunan, sakramen ini memberi kekuatan khusus yang menyembuhkan jiwa yang membantu manusia tetap teguh dan memalingkan dari dosa secara radikal lagi. Penyembuhan jiwa ini juga mengarahkan kita kepada persatuan dengan Allah secara lebih sempurna lagi. Itulah rahmat sakramental Tobat.
Maka Sakramen ini tidak terarah hanya kepada masa yang lalu utk menghapus dosa yang telah dilakukan, tetapi terarah ke masa depan untuk menjamin kesehatan jiwa. Sakramen ini juga mampu monolong jiwa agar keingiannya yang terungkap dalam niat “tidak akan berbuat dosa lagi” - bisa menjadi realitas, bukan niat melulu saja.
Sakramen ini menghapus juga akibat-akibat dosa. Dan salah satu akibatnya adalah menghapus kelemahan manusia yang mendorong kita berbuat dosa lagi. Sebab setiap dosa menggerakkan suatu mekanisme psikis dalam bentuk kecenderungan untuk melakukan dosa itu sekali lagi.
Sakramen Tobat juga mempunyai kekuatan menghapus akibat-akibat dosa yang lain, yakni menghapus "hutang" kita terhadap keadilan Allah. Kekuatan jasa-jasa Kristus di sini melengkapi ketidakmampuan manusia menghapus hukuman yang seharuanya kita terima karena dosa. Kekuatan jasa Kristus ini mencurahkan ke dalam hati kekuatan baru, yang bisa menyingkirkan "mekanisme psikis" tadi, menegakkan "kemiringan", kecenderungan itu. Secara singkat bisa dikatakan bahwa sakrament ini memberi kekuatan untuk berjuang dan bartahan dalam kebaikan.
Masih ada satu keistimewaan Sakramen ini. Dalam semua Sakramen ada unsur yang disebut: materi sakramen (seperti air, roti minyak). Apa yang merupakan "materi Sakramen Tobat" ? - Perbuatan: sifat Pengakuan, penyesalan, niat. Inilah unsur-unsur pokok Sakramen ini. Seperti tanpa roti tidak ada Ekaristi begitu pula dalam Sakramen Tobat. Tanpa dosa, tanpa penyesalan dan pengakuan dan niat, tidak ada Sakramen Pengampunan. Berarti, dosa, pengakuan, penyesalan merupakan bagian integral Sakramen. Memikirkan ini saja kita sudah melibat bahwa dalam Sakramen ini terjadi suatu proses yang ajaib. Milik kita yang khas dan itu milik yang sangat merepotkan dan membebani, diambil dari kita dan dirubah oleb kuasa Allah. Mengherankan dan mengagumkan, bahwa apa yang justru merupakan tanda kelemahan kita (dosa) mendatangkan kuasa Allah yang menyelamatkan kita. "Materi" Sakramen ini berubah, menjadi kekuatan kreatifs, membuat kita lebih kuat terhadap kesulitan dan godaan. Mengingat hal-hal tadi kita bisa mengerti, bahwa sungguh menguntungkan kalau kita mengikuti ajakan Gereja untuk sering menerima Sakramen ini. Pengertian itu akan melindungi kita terhadap rutin, kebiasaan yang tidak enak dan karena itu begitu sering dilalaikan.
Berguna sekali kalau kita ingat masih satu hal lagi: Umat Gereja Purba mempunyai kepekaan besar terhadap kebenaran, bahwa dosa masing-masing orang, sangat merugikan seluruh keluarga kristiani. Dosa merupakan kesalahan bukan hanya terhadap Allah tetapi juga terhadap Gereja. Karena itu tobat dan penitensi dalam Gereja Purba ditentukan oleh uskup bersama dengan umat. Dan tobat dijalankan selalu di muka umum. Gereja - yang oleh St Paulus digambarkan sebagai "mempelai yang dipersiapkan oleh Kristus, penuh kemuliaan, tanpa noda dan cacat, tanpa apa-apa yang memalukannya, tetapi suci". Kita bisa mengerti bahwa orang kristiani yang berpaling dari Allah dan berbuat dosa, merupakan noda, yang seharuanya tak ada pada mempelai Kristus itu. Dosa melemahkan dan memalukan seluruh Gereja. Maka semua ikut prihatin.
Walaupun cara tobat banyak berubah, tetapi tetap benar bahwa dosa pribadiku, sungguh merugikan dan melemahkan seluruh Gereja, umat. Gereja sungguh ingin, agar tidak ada apa-apa yang mengganjil dalam persekutuan sempurna mempelai Kristus itu. (bersambung)

Salam dan doa
MoTe

SAKRAMEN REKONSILIASI [1]


Sebagai kata instituai Sakramen Pengampunan biasanya kita mengutip Yo 20,21-22: "Damai sejahtera bagi kamut Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Dan sesudah berkata demikian, Ia menghembusi mereka dan berkata: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada".
Ini memang benar. Tetapi asal-usul Sakramen Pengampunan bisa dicari tempat dan sumber lain. Jesus tidak hanya mengajar umat, tetapi Jesus mencari juga kontak pribadi dengan orang. Kontak itu menyentuh secara individual, personal dan menimbulkan kesan yang sangat mendalam dan mampu mengarahkan orang kepada Allah. Maria dari Betania, si pemuda kaya, Nikodemus, wanita Samaria, wanita yang mengurapi kaki yeaus dengan minyak wangi, anak-anak yang dipeliknya dan diberkatinyat Zakeus, orang lumpuh di kolam Siloam, penjahat di salib, murid-murid dari Emaus, dan banyak yang lain adalah contoh dari kontak personal Jesus dalam karyaNya. Dengan cara ini kiranya Jesus mempersiapkan orang-orang untuk membentuk Gereja, umat. Jesus tidak pernah memperlakukan seseorang secara anonim, sebagai satu dari massa, tetapi Jesus selalu menghormati pribadi individual setiap orang. “Aku mengenal domba-dombaku dengan nama mereka masing-masing." Di sini nampak bahwa Ia selalu menjaga suatu keseimbangan yang luhur antara tekanan atas unsur sosial kodrat manusia, dan hormat tinggi bagi pribadi masing-masing orang.
Tetapi dalam konteks pengakuan dan pengampunan dosa ada hal yang mengganggu, terutama di antara si penitent dan Kristus, masuk orang yang ke tiga, yaitu imam. Seorang manusia yang berani mengatakan "Aku melepaskan dikau dari semua dosamu..." Kehadiran orang ketiga dalam hubungan penitent dan Kristus yang membuat banyak orang keberatan dan dirasa malah ganjil.
Untuk memami hal ini baiklah melibat dalam rangka karya Keselamatan. Jesus memanggil dan memilih para Rasul memberi kepada mereka pesan-pesan kongkret, mengutus mereka meneruskan karyanya, menyebarluaskan apa Dia sendiri ajarkan. Memberi mereka wewenang dan kuasa. Semua ini terjadi dalam kerja sama yang baik. Manusia tidak hanya menjadi orang yang pasif atau penonton saja, tetapi teman sekerja Allah.
Panggilan kepada imamat merupakan kharisma yang membutuhkan formasi dan penegasan obyektif dari luar. Dan hal itu dilakukan oleh para pengganti para nasul, yaitu uskup-uskup. Dan mereka melakukan itu juga dengan kewibawaan Kristus sendiri. Melalui Kristus mengalirlah segala rahmat dan anugerah yang menciptakan kesatuan baru manusia dengan Sumber segala rahmat, yaitu Allah Tritunggal Mahakudus. Dari Sumber itu mengalir hidup baru kepada seluruh umat, terjadi melalui pelayanan para imam Kristus. Di situlah Kristus berkarya dengan tangans, mulut dan hati seorang imam. Kristus mempermandikan orang, Kristus mengampuni dosa, Kristus merubah roti anggur menjadi Tubuh dan DarahNya. Mulut imam menjadi seperti hembusan dunia ilahi. Tangan imam seperti telapak tangan Kristus, telinga imam menjadi seperti alat penyadap surgawi. Jika imam "memperpanjang" in infinitum kurban Ekaristi dengan kata-kata "Inilah tubuhKu” "Ini darahKu” yang untuk pertama kalinya disabdakan Jesus dalam Perjamuan Terakhir, maka kita tahu, bahwa dalam bunyi suara imam ada kuasa Kristus sendiri. Kuasa yang sama yang pada perjamuan terakhir merubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, dan sekarang berkarya juga di semua altar di dunia. Memang, di hadapan misteri itu, manusia - imam tidak berarti apa apa. Tetapi manusia itu didiami Kristus.
Tuhan menampakkan Diri kepada Musa di padang gurun dalam sebuah semak yang bernyala. Waktu Musa mendekat hendak melibat kejadian aneh itu dari dekat, ia mendengar suara: "Jangan mendekat. Lepaskanlah sepatu, sebab tempat yang kauinjak itu adalah tanah suci." Suci, sebab Allah ada di situ.
Tempat di mana berlangsung pengakuan dosa merupakan tempat yang lebih suci dari tanah (holy ground) tempat Musa berpijak. Ini tempat di mana terpecahkan perang antara kejahatan dan kebaikan. Perang antara Allah dan setan. Tempat, di mana jiwa-jiwa manusia direbut kembali dari cengkeraman si jahat. Tempat, di mana orang melepaskan bukan sepatu,, tetapi “manusia lama”. Tempat di mana manusia mananggalkan pakaian yang dinajiskan dosa, dan dari tangan Allah akan menerima "pakaian" baru yang indah. (bersambung)

Imamat dan Perayaan Ekaristi

Para Romo dan rekan-rekan netter;
Saya temukan artikel kecil yang mungkin bisa berguna untuk sekedar menjadi bahan refleksi bersama. Atau sekaligus mungkin bisa menjadi semacam 'reminder' dan koreksi pribadi bagi para kaum berjubah akan tugas kegembalaannya. Dengan harapan, semoga refleksi kecil ini bisa membantu kita mengembalikan essensi pokok tugas panggilan kaum berjubah sebagai 'alter Christo', membawa keselamatan bagi mereka yang dilayaninya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setiap Hari Kamis Putih, khususnya pada misa krisma, seluruh kaum berjubah merayakan kembali 'hari jadi' mereka. Pada kesempatan ekaristi ini mereka diundang kembali untuk memperbaharui komitmen mereka sebagai barisan selibater dan hirarki yang bertugas meneruskan karya Kristus dalam menghadirkan perayaan ekaristi kepada Gereja dan dunia. Pada perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Jesus dan para muridNya, 'sakramen' imamat lahir di dunia. Dalam Sabda Jesus 'Lakukanlah ini' sebagai kenangan akan Daku' tersirat dan tersurat tugas meneruskan perjamuan kasih ini. Panggilan pelayanan imamat, pertama-tama harus didasarkan pada tugas perutusan Jesus ini, mengenang dan menghadirkan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitanNya dalam perayaan Ekarist. Maka bagi seorang imam, perayaan Ekaristi seharusnya menjadi 'pusat dan sumber iman dan kehidupan' mereka setiap hari. Karena dari sinilah mengalir sumber segala rahmat bagi pelayanan. Lalu sikap atau 'attitude' apa yang harus dibangun terus dan dihayati oleh para imam dalam hubungannya dengan pelayanan perayaan Ekaristi. Paling tidak ada tiga hal pokok yang selalu harus disadari, dihayati dan dilakukan sebagai tugas utama mereka dalam pelayanan imamat mereka.
Pertama; seorang imam haruslah seorang yang sungguh beriman (a believer). Dalam kotbahnya di Hari Kamis Putih tahun 2005 yang lalu, paus Benedict XVI mengakatan "tugas utama yang harus dilakukan oleh seorang imam adalah menjadi orang yang sungguh beriman'. Disini diingatkan dan ditegaskan bahwa seorang imam pertama-tama adalah seorang yang menghayati dan mewujudkan apa yang diyakini dan diimani. Ia haruslah menjadi 'a man of faith' yang selalu mengandalkan Allah sebagai sumber hidupnya. Ia adalah seorang yang selalu berdialog, bercakap-cakap dan selalu berhubungan dengan Allah lewat ketekunan dan kesetiannya dalam doa. Maka imam haruslah menjadi 'seorang pendoa' atau 'a man of prayer'. Selalu mempunyai waktu untuk duduk dalam keheningan diri, terus menerus mencoba memahami kehendak Allah dan selalu melakukannya dalam 'discerment' yang serius. Melalui doa dan 'pembedaan Roh' iman mereka akan semakin bertumbuh kuat dan dalam. Selain itu, imam adalah seorang yang selalu menggali dan mendalami imannya lewat dan dengan pertolongan Kitab Suci dan ajaran Gereja. Jesus dalam Ekaristi adalah 'a man of faith' yang terus menurus dan tekun mendangandalkan Allah Bapa sebagai sumber kehidupanNya.
Imam tanpa hidup doa, adalah kosong. Ajaran tanpa wujud menjadi kurang lengkap. Hidup doa tidak bisa diganti dengan kesibukan pelayanan. Kedua hal merupakan dua sisi yang harus berjalan seimbang. Pelayan tanpa doa menjadi kering, sebaliknya doa tanpa perwujudan menjadi omong kosong. Dalam dunia modern ini betapa kita sering jumpai imam-imam yang tidak mempunyai waktu lagi untuk berdoa. Mereka begitu asyik dengan berbagai kesibukan pelayanan. Sering kali mereka beranggapan bahwa mereka bisa berdoa dalam pelayanan. Betapa seringkali umat juga merasa prihatin terhadap para gembalanya. Mereka lebih banyak meluangkan waktu di depat TV dari pada di ruang doa. Jesus dalam kesibukannya yang luar biasa, hingga tidak sempat untuk makan pun, masih mengutamakan waktu untuk pergi di tempat yang sepi untuk berdoa.
Dari beberapa penyeledikan para ahli ditemukan bahwa kebosanan dalam pelayanan (burn out) pertama-tama berawal dari kesibukan yang begitu menyita waktu dan perhatian. Tetapi melupakan dan mengabaikan waktu dan saat hening untuk berdoa. Tenaga dan pikirannya diserap habis, namun tidak pernah diisi kembali, sehingga lama-lama menjadi habis. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi diantara kaum berjubah karena mereka melupakan hakekat dirinya sebagai 'a man of faith and prayer'
Kedua; seorang imam adalah seorang 'pelayan' (a servant). Karena perubahan dan perkembangan sejarah, imamat akhirnya menjadi dan mempunyai status khusus dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Karena jabatan khusus, mereka menjadi anggota hirarki, dan sering diberi gelar sebagai 'yang terhormat, yang mulia' Hal ini membuat fungsi utama imam sebagai 'pelayan' menjadi kabur dan hilang. Status dan posisi yang istimewa ini bahkan membuat imam menjadi lupa akan esensi dari panggilannya.Bukan hal yang rahasia lagi dalam kehidupan sehari-hari bahwa imam lebih banyak dilayani oleh umat dari pada melayani. Bahkan banyak imam yang justru menuntut ini dan itu dari umat, yang tanpa sadar sebenarnya justru mengingkari 'hakekat imamatnya', sebagaimana Jesus sendiri 'datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani'. Kata 'pelayan' menjadi sangat asing ditelinga para kaum berjubah.
Panggilan imam sebagai 'pastor atau gembala' ditempatkan sebagai posisi kedua dalam pelayanan mereka. Padahal imam sebagai pastor atau gembala umat, lebih bersumber pada Jesus sebagai gambala yang baik, yang dengan rela merendahkan diri menjadi 'pelayanan para rasul' yang diwujudkan dalam pembasuhan kaki mereka. Sebagai seorang 'pelayan', imam seharusnya selalu berada bersama dan ditengah-tengah umat kegembalaannya. Mereka mengenal dan mengetahui situasi dan kondisi umatnya. Mereka mempunyai kepekaan dan kepedulian terhadap kehidupan mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, dan mengalami apa yang mereka nikmati. Imam sungguh mengetahuai apa yang umat perlukan dan apa yang mereka inginkan. Ia harus mampu menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi umatnya, terutama bagi mereka yang sedang menderita. Imam adalah orang yang berani dan sukarela menderita bagi kepentingan umatNya. Semua ini bisa diwujudkan oleh mereka lewat teladan kepemimpinannya yang sungguh berorientasi pada 'servant leadership'.
Mungkin banyak kita yang agak sinis merenungkan bagian ini. Karena kenyataan yang ditemukan dalam hidup, sikap ini menjadi semacam kerinduan yang sulit ditemukan lagi. Banyak imam yang tidak lagi mempunyai semangat melayani, tetapi sebaliknya selalu ingin dilayani. Pelayan di paroki yang seharusnya menjadi tugas utama, kurang dilakukan dengan senang hati bila tidak ada fasilitas dan kemudahan lainnya. Sulit ditemukan dalam dunia modern ini figur seorang imam yang sungguh mampu mewujudkan fungsinya secara konsisten sebagai gembala umat, yang tahu dan merasakan suka duka umatnya. Banyak imam yang lebih senang duduk dibelakang meja kerja diparoki, me-management paroki dari pada 'mengembalakan' umat dengan mengunjungi dan menyapa mereka di tempat dimana mereka hidup dan berjuang.
Yang ketiga adalah bahwa seorang imam adalah 'seorang pemersatu dan pembangun jemaat'. Sakramen Baptis membuat kita menjadi umat Allah, anggota Gereja. Lewat baptis yang kita terima, kita ikut ambil bagian dalam tugas perutusan Kristus didunia ini. Ada yang dipanggil untuk tugas pelayanan khusus sebagai Imam, ada yang menjadi biarawan-biarawati dan ada yang menjalankan tugas ini sebagai seorang awam. Sebagai seorang gembala, imam dipanggil secara khusus untuk menjadi 'seorang pembangun dan pemersatu jemaat'. Karena tugas panggilan ini, hendaklah seorang imam bersusaha untuk mengesampingkan interes pribadi dan selalu menyadiakan dirinya bagi siapa saja. Dia harus terus menerus berusaha menjadi dan menyadari panggilan hidupnya sebagai 'everything for everyone'.
Oleh karena peranan dan fungsinya sebagai pembangun dan pemersatu jemaat, maka kerjasama dengan umat dalam pelayanan menjadi penting. Gaya kepemimpinannya pun sangat menentukan melayanan macam apa yang ingin diwujudkan dalam karya pastoralnya. Maka gaya dan fungsi kepemimpinan yang kirinya cocok dalam pola pembangunan jemaat adalah pendampingan, pemberi semangat dan berbagi, bukan mendominasi dan otoriter.
Akhirnya, perayaan ekaristi menciptakan seorang imam, dan imam menghadirkan perayaan ekaristi. Dalam pelayanan Sakramen Ekaristi, Jesus sungguh harus menjadi sumber inspirasi dan kekuatan sehingga diharapkan bahwa imam sungguh mampu menjadi saksi Kristus yang hidup bagi umat lewat pelayanannya.
Masih banyak hal yang bisa direfleksikan sebagai tugas gembala, tetapi tiga hal ini sudah cukup memadai bila diwujudkan secara penuh dalam pelayanan pastoral para imam.
Vivat Cor Jesu / MoTe